NILAI
DAN ETIKA LINGKUNGAN DALAM TEORI DAN APLIKASI
OLEH : JONNIMAR
NPM : 13131011021
DOSEN PEMBIMBING : Prof. SUPLI EFFENDI RAHIM
OLEH : JONNIMAR
NPM : 13131011021
DOSEN PEMBIMBING : Prof. SUPLI EFFENDI RAHIM
A. NILAI
LINGKUNGAN
1.
PENGERTIAN
Lingkungan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta
(Neolaka;2008;25) adalah berasal dari kata lingkung yaitu sekeliling, sekitar. Lingkungan
adalah bulatan yang melingkupi atau melingkari, sekalian yang terlingkung
disuatu daerah sekitarnya. Menurut ensiklopedia Umum (1977) lingkungan adalah
alam sekitar termasuk orang-orangnya dalam hidup pergaulan yang mempengaruhi
manusia sebagai anggota masyarakat dalam kehidupan dan kebudayaannya.
Dalam Ensiklopedia Indonesia(1983) lingkungan adalah segala sesuatu
yang ada diluar suatu organisme meliputi :
a)
Lingkungan mati (abiotik) yaitu lingkungan diluar
suatu organisme yang terdiri atas benda atau faktor alam yang tidak hidup,
seperti bahan kimia, suhu, cahaya, gravitasi, atmosfir dan lainnya.
b)
Lingkungan hidup (biotik) yaitu lingkungan diluar
suatu organisme yang terdiri atas organisme hidup seperti tumbuhan, hewan dan
manusia.
Menurut Undang – Undang RI No. 4 tahun 1982, tentang
ketentuan-ketentuan pokok Pengelolaan lingkungan hidup dan Undang-Undang RI No
23 tahun 1997 tentang Pengolahan Lingkungan Hidup, dikatakan bahwa Lingkungan
Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan, dan mahluk hidup,
termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan
dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya.
Pada penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa lingkungan hidup
merupakan sistem yang meliputi lingkungan alam, lingkungan buatan dan
lingkungan sosial yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya. Oleh sebab itu keberadaan
lingkungan hidup harus turut dipertimbangkan dalam setiap pengelolaan suatu
kegiatan manusia termasuk pengelolaan sampah pemukiman, karena lingkungan hidup
manusia adalah sistem dimana berada perwujudan atau tempat dimana terdapat
kepentingan manusia di dalamnya (Soerjadi;1988).
Masih menurut Soerjadi (1988) bahwa lingkungan hidup manusia terdiri
dari lingkungan alam, sosial dan lingkungan buatan mempunyai hubungan saling
mempengaruhi. Lingkungan hidup manusi terdiri atas lingkungan hidup sosial yang
menentukan seberapa jauh lingkugan hidup alam mengalami perubahan drastis menjadi
lingkungan hidup buatan. Dalam upaya meningkatkan pengelolaan lingkungan hidup
dilakukan upaya untuk mengadakan koreksi terhadap lingkungan dengan
memodifikasi lingkungan, agar pengaruh merugikan dapat dijauhkan dan
dilaksanakan pencegahan melalui efisiensi dan pengaturan lingkungan, sehingga
bahaya lingkungan dapat dihindarkan dan keserasian serta keindahan dapat
terpelihara.
Lebih tegasnya Soerjadi (1988), menyatakan ada tiga upaya yang harus
dijalankan secara seimbang yaitu upaya teknologi, upaya tingkah laku atau sikap
dan upaya untuk memahami dan menerima koreksi alami yang terjadi karena dampak
interaksi manusia dan lingkungannya.
Chiras (Neolaka;1991) menyatakan bahwa lingkungan menunjukkan keluasan
segala sesuatu meliputi air, binatang, dan mikro organisme yang mendiami tanah
itu. Jadi lingkungan termasuk segala komponen yang hidup dan tidak hidup,
interaksi antar sesama komponen. Lingkungan hidup adalah sistem yang merupakan
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup, termasuk
didalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan
dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya. Dari pengertian
lingkungan yang sama yaitu perlu disadari bahwa ternyata pengelolaan lingkungan
oleh manusia sampai saat ini tidak sesuai dengan etika lingkungan yaitu manusia
bersikap superior terhadap alam. Manusia beranggapan bahwa dirinya bukan bagian
dari alam semesta sehingga dia boleh bebas mengelolanya bahkan dapat merusak
lingkungan hidupnya.
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan
hidup (Pasal 1 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1997). Lebih lanjut dikatakan dalam
Pasal 3 UU Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997, bahwa pengelolaan
lingkungan hidup yang diselenggerakan dengan asas tanggungjawab, asas
keberlanjutan dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang
beriman dan bertagwa kepada Tuhan Yang maha Esa.
Dan yang menjadi sasaran pengelolaan lingkungan hidup ini adalah (Pasal
4 UUPLH No. 23 Tahun 1997) :
1) Tercapainya
keselarasan dan keseimbangan antara manuisa dengan lingkungan hidupnya.
2) Terwujudnya
manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak
melindungi dan membina lingkungan hidup.
3) Terjaminnya
kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan.
4) Tercapainya
kelestarian fungsi lingkungan hidup.
5) Terkendalinya
pemanfaatan sumer daya secara bijaksana.
6) Terlindunginya
Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan
diluar wilayah Negara yang menyeabkan pencemaran dan/atau perusak lingkungan hidup.
(dalam Neolaka,2008;113).
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah
merancang tujuan dari pengelolaan lingkungan hidup yaitu : (tahun 2004-2009)
1) Mewujudkan
perbaikan kualitas fungsi lingkungan hidup dengan :
a) Penurunan
beban pencemaran lingkungan meliputi air, udara, atmosfir, laut dan tanah.
b) Penurunan
laju kerusakan lingkungan hidup yang meliputi sumber daya air, hutan dan lahan,
keanekaragaman hayati, energi dan atmosfir, serta ekosistem pesisir laut.
c) Terintegrasinya
dan diterapkannya pertimbangan pelestarian fungsi lingkungan dalam perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan serta pengawasan pemanfaatan ruang dan lingkungan.
2) Meningkatnya
kepatuhan para pelaku pembangunan untuk menjaga kualitas fungsi lingkungan
hidup.
3) Mewujudkan
tata pemerintahan yang baik dibidang pengelolaan lingkungan hidup. Dengan
terwujudnya pengarusutamaan prinsip tata pemerintahan dalam pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan hidup dipusat dan daerah ( Zoer`aini,2009;25).
Visi pengelolaan lingkungan agar terwujudnya perbaikan kualitas fungsi
lingkungan hidup yang diselenggerakan dengan asas tanggungjawab Negara, asas
berlanjutan, asas manfaat diselenggerakan untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup melalui penerapan
prinsip-prinsip good environmental governance, guna meningkatkan
kesejahteraan rakyat Indonesia. Ada beberapa misi yang harus dilaksanakan untuk
mewujudkan visi pengelolaan lingkungan hidup yaitu, :
1) Mewujudkan
kebijakan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup guna mendukung tercapainya
pembangunan berkelanjutan.
2) Membangun
koordinasi dan kemitraan para pemangku kepantingan dalam pengelolaan dan
pemanfaatan SDA dan lingkungan hidup secara efisien, adil dan berkelanjutan.
3) Mewujudkan
pencegahan kerusakan dan pengendalian pencemaran SDA dan lingkungan hidup dalam
rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup (Zoer`aini, 2009;26).
Agar tujuan pengelolaan lingkungan hidup tersebut dapat dicapai, maka
perangkat hukum positif telah memberikan pengakuan adanya hak dan kewajiban
yang dipunyai baik individu-individu, warga masyarakat atau kelompok social
tertentu seperti ditetapkan dalam pasal 5 UUPLH No. 23/1997. Dengan demikian
berarti bahwa pasal 5 ini dapat ditafsirkan bahwa setiap manuisa tanpa kecuali
berhak untuk menikmati/memanfaatkan lingkungan hidup, manusia juga mempunyai
kewajiban untuk memelihara, mencegah, dan menanggulangi, sesuatu akibat dan
penggunaan hak atas lingkungan hidupnya.
Sujatmoko (1983) mengatakan bahwa Indonesia menghadapi 2 macam masalah
mengenai lingkungan hidup, yaitu pertama kemelaratan dan kepadatan penduduk.
Masalah yang kedua adalah pengrusakan dan pengotoran lingkungan hidup yang
diakibatkan oleh proses pembangunan. Pembangunan erat kaitanya dengan
lingkungan hidup, dimana pembangunan itu membutuhkan sumber daya alam dan
sumber daya manusia.
Menurut Hardjasumantri (2002) bahwa pembangunan dapar berjalan, tanpa
menganggu lingkungan hidup. Untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup tidak
dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah, dibutuhkan swadaya masyarakat banyak
untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna sistem pengelolaan sumber daya alam
dan lingkungan hidup.
Selain dengan proses pembangunan, manusia dapat bertindak sebagai
subjek pembangunan yaitu sebagai pengelola, pencemar maupun perusak lingkungan,
tetapi juga manusia dapat juga sebagai objek pembangunan yaitu menjadi korban
pencemaran aiar, udara dan lain-lain. Pencemaran lingkungan hidup tidak hanya
dalam bentuk pencemaran fisik, tetapi juga dapat menimbulkan pencemaran
lingkungan sosial.
Oleh karenanya setiap pengelolaan terhadap lingkungan hidup harus pula
dilakukan secara sadar dan terencana. Hubungan keserasian antara arah
pembangunan kelestarian lingkungan hidup perlu diusahakan dengan memperhatikan
kebutuhan manusia, seperti lapangan kerja, pangan, sandang, dan pemukiman,
kesehatan dan pendidikan (Emil Salim;1991).
Dari gambaran diatas dapat diketahui kunci permasalahan lingkungan
adalah manusia. Jadi manusia dengan lingkungannya merupakan suatu yang tidak
dapat dipisahkan. Karena kedua hubungan tersebut saling pengaruh dan
mempengaruhi (Natsir;1986). Tingkah laku manusia selalu mempengaruhi
keharmonisan dan keseimbangan lingkungan. Manusia yang mampu memelihara
lingkungan dengan baik adalah manusia yang mampu mempergunakan alam sekitarnya
guna memenuhi kebutuhan materinya secara wajar, sehingga kualitas lingkungan dapat
dijaga dan ditingkatkan sekaligus memberikan manfaat kepada manusia.
Berdasarkan pengertian pengelolaan lingkungan hidup yang telah
diutarakan diatas, maka pengelolaan sampah domestik pun harus dikaitkan dengan
upaya memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan. Artinya
pengelolaan sampah hendaknya merupakan upaya dalam pendayagunaan, pengawasan,
dan pengendalian sampah, serta pemulihan lingkungan akibat pencemaran sampah.
Atas dasar adanya interaksi antara lingkungan sosial dan lingkungan
buatan dan dengan kegiatan manusia yang menghasilkan sampah, maka bila sampah
tidak dikelola secara tepat akan mengancam kualitas lingkungan kota. Dalam hal
pengelolaan sampah pertimbangan lingkungan hendaknya selalu menjadi dasar
perumusan kebijakan dan atau penanggulangannya. Atas dasar itu tidak berlebihan
kiranya dinyatakan bahwa pengelolaan sampah haruslah berwawasan lingkungan.
2.
TEORI
1)
Antroposentrisme.
Merupakan
teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat alam semesta. Etika
ini sangat instrumentalistik dalam pengertian pola hubungan manusia dan alam
dilihat dalam relasi instrumental. Alam dinilai sebagai alat bagi kepentingan
manusia. Karena berciri instrumentalistik dan egoistic teori ini dianggap
sebagai etika lingkungan yang dangkal dan sempit.
Ekologi
dangkal dapat digolongkan dalam penganut antroposentrisme (Buntaran, 1966) dan
menekankan hal-hal sebagai berikut :
a) Gambaran
manusia yang terpisah dari alam.
b) Mangutamakan
hak-hak manusia atas alam tetapi tidak menekankan tanggung jawab manusia.
c) Mengutamakan
perasaan manusia sebagai pusat keprihatinannya.
d) Kebijakan
dan manajemen sumber daya alam untuk kepentingan manusia.
e) Pemecahan
krisis ekologis melalui pengaturan jumlah penduduk khususnya di negara-negara
miskin.
f) Menerima
secara positif pertumbuhan ekonomi.
g) Norma utama
adalah untung dan rugi.
h) Mengutamakan
rencana jangka pendek.
i) Menyesuaikan
diri dengan sistem politik dan ekonomi yang berlaku.
2)
Biosentrisme.
Teori ini
menganggap setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga
setiap kehidupan dan makhluk hidup di alam semesta. Semua makhluk hidup
bernilai pada dirinya sendiri sehingga pantas mendapat pertimbangan dan
kepedulian moral, alam diperlukan secara moral.
3)
Ekosentrisme.
Teori ini
hampir sama dengan teori biosentrisme tetapi diperluas untuk mencakup komunitas
ekologis seluruhnya. Teori ini menggunakan konsep deep ecology. Prinsip moral
yang dikembangkan yaitu menyangkut kepentingan seluruh komunitas ekologi.
Di dalam
etika lingkungan terdapat prinsip-prinsip yang digunakan. Adapun
prinsip-prinsip Etika Lingkungan bertumpu pada dua teori biosentrisme dan
ekosentrisme dimana komunitas moral tidak hanya dibatasi pada komunitas social
melainkan mencakup komunitas ekologi seluruhnya. Hakekat manusia bukan hanya
makhluk sosial melainkan juga makhluk ekologis. Menurut Sony Keraf (2002:133),
prinsip etika lingkungan adalah :
a) Sikap
hormat terhadap alam.
Dalam hal ini manusia diharapkan mengakui bahwa
alam semesta perlu dihormati lepas apakah dia mengikuti konsep
antroposentrisme, biosentrisme maupun ekosentrisme.
b) Prinsip
tanggung jawab.
Tanggung jawab disini tidak hanya tanggung jawab
individual tetapi juga kolektif, dimana tanggung jawab moral menuntut manusia untuk
mengambil prakarsa, usaha, kebijakan, dan tindakan bersama secara nyata untuk
menjaga alam semesta dan segala isinya.
c) Solidaritas
kosmis.
Manusia mempunyai kedudukan sederajat dan setara
dengan alam dan makhluk hidup di alam. Kesadaran ini membangkitkan dalam diri manusia
perasaan solider dan sepenanggungan dengan alam dan sesama makhluk hidup lain.
d) Kasih
sayang dan kepedulian terhadap alam.
Sebagai sesama anggota komunitas ekologis yang
setara manusia digugah untuk mencintai, menyayangi dan peduli pada alam dan isinya
tanpa diskriminasi dan dominasi. Kasih sayang dan kepedulian ini juga muncul
dari kenyataan bahwa sebagai sesama anggota komunitas ekologis semua makhluk
hidup mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara, dirawat dan tidak stabil.
e) Tidak
merugikan.
Manusia mempunyai kewajiban moral dan tanggung
jawab terhadap alam. Paling tidak manusia tidak mau merugikan alam. Oleh karena
itu manusia diupayakan tidak melakukan tindakan yang merugikan atau mengancam
eksistensi makhluk hidup lain di alam semesta ini sebagaimana manusia tidak
dibenarkan juga secara moral untuk bertindak merugikan sesama manusia.
f) Hidup
sederhana dan selaras dengan alam.
Prinsip ini menekankan nilai kualitas cara hidup
yang baik dan bukan hanya kekayaan. Sarana standar material yang ditekankan
dalam kehidupan bukan rakus dan tamak mengumpulkan sebanyakbanyaknya harta.
Yang lebih penting adalah mutu kehidupan yang lebih baik.
g) Keadilan.
Dalam hal ini akses yang sama bagi semua kelompok
dan anggota masyarakat dalam ikut menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya
alam, kelestarian alam dan ikut juga menikmati pemanfaatan sumber daya alam
atau alam semesta seluruhnya.
h) Demokrasi.
Terkait erat dengan hakekat alam. Isi alam selalu
beraneka ragam. Keanekaragaman adalah hakekat alam, hakekat kehidupan itu sendiri.
Oleh sebab itu setiap kecenderungan reduksionistis dan anti keanekaragaman
serta anti pluralitas bertentangan dengan alam dan anti kehidupan. Demokrasi
memberi tempat seluas bagi perbedaan keanekaragaman maupun yang lain. Oleh
karena itu orang yang peduli dengan lingkungan adalah orang yang demokratis. Orang
yang demokratis sangat mungkin seorang pemerhati lingkungan.
i) Integritas
moral.
Terutama dimaksudkan untuk pejabat publik. Pejabat
dituntut untuk mempunyai sikap dan perilaku moral yang terhormat serta memegang
teguh prinsip moral yang mengutamakan kepentingan publik. Dituntut bersih dan
disegani karena mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan dan
masyarakat.
Kesalahan
dari peradaban kita selama ini terletak pada pandangan yang keliru seolah
manusia bukan bagian dari alam atau lingkungan. Akibatnya, orang tidak sadar
ketika dia melakukan kerusakan terhadap alam atau lingkungan, sesungguhnya dia
juga sedang menghancurkan dirinya sendiri serta orang-orang lain. Memang sejak
dicanangkan pertama kali pada 5 Juni 1972, Hari Lingkungan Hidup Sedunia punya tujuan
menggugah kesadaran umat manusia akan tanggung jawabnya terhadap alam atau
lingkungan hidup. Hari Lingkungan Hidup pertama dicetuskan bertepatan dengan Konferensi
Internasional Lingkungan Hidup yang digelar pertama kali pada 5 - 16 Juni 1972
di Stockholm, Swedia. Berdasarkan resolusi PBB No. 2994 (XXVII) tertanggal 15
Desember 1972, ditetapkan tiap 5 Juni mulai 1972 sebagai Hari Lingkungan Hidup
Sedunia. Pada tahun yang sama dibentuk UNEP (United Nations Environment Program)
yang bertanggung jawab terhadap peringatan World Environment Day (WED)
setiap tahunnya di berbagai negara. Maksud dari adanya peringatan Hari
Lingkungan Hidup Sedunia adalah untuk meningkatkan kesadaran bagi siapa saja
dalam menjaga lingkungan dan meningkatkan perhatian pemerintah diberbagai
negara dalam mengatasi masalah lingkungan.
3.
APLIKASI
1) Partisipasi
Masyarakat dalam Pembangunan.
Pengertian tentang partisipasi oleh
banyak ahli biasanya diartikan sebagai upaya peran serta masyarakat dalam suatu
kegiatan, yang bila dikaitkan dengan pembangunan maka akan merupakan upaya
peran serta masyarakat dalam pembangunan. Istilah lain partisipasi yang sering
digunakan adalah peran serta, keterlibatan dan keikutsertaan yang terwujud di
dalam sikap gotong-royong. Menurut Budiono (1999), gotong-royong adalah usaha
yang dilakukan secara bersama tanpa imbalan yang ditujukan untuk kepentingan
bersama. Dalam makna yang sama Widiayanti dan Sunindha (1989) mendefinisikannya
sebagai suatu usaha yang diselenggerakan secara bersama yang dapat diwujudkan
dalam pengertian partisipasi.
Achmadi (1978) menambahkan bahwa
partisipasi, masyarakat dalam bentuk swadaya gotong-royong merupakan modal
utama. Sedangkan swadaya diartikannya sebagai kemampuan dari suatu kelompok
masyarakat yang dengan kesadaran dan inisiatif sendiri mengadakan iktihar
pemenuhan kebutuhan. Menurut Cohen dan Uphoff (Ndraha;1990) bahwa patisipasi
dapat merupakan keluaran dan masukan pembangunan. Bentuk partisipasi yang dapat
dilakukan oleh masyarakat dalam program pembangunan terdiri dari partisipasi
dalam pengambilan keputusan, implementasi, pemanfaatan, dan evaluasi
pembangunan.
Berkaitan dengan pengertian
partisipasi dan kaitannya dengan program pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat maka partisipasi menjadi elemen yang sangat penting. Tanpa
perhitungan partisipasi masyarakat, program pembangunan yang akan dilaksanakan
merupakan perencanaan diatas kertas (Pusic dalam Adi;2001). Berdasarkan
pandangannya, partisipasi atau keterlibatan warga masyarakat dalam pembangunan
dapat dilihat dari dua hal yaitu; partisipasi dalam perencanaan dan partisipasi
dalam pelaksanaan. Kedua hal tersebut mempunyai segi positif dan segi negatife,
baik dalam bentuk partisipasi dalam perencanaan dan partisipasi dalam
pelaksanaan.
Segi positif dari partisipasi dalam
perencanaan adalah dapat mendorong munculnya keterlibatan secara emosional
terhadap program-program pembangunan yang direncanakan bersama, sedangkan segi
negatifnya adalah adanya kemungkinan tidak dapat dihindarinya pertentangan
antar kelompok dalam masyarakat yang dapat menunda atau bahkan menghambat
tercapainya suatu keputusan bersama.
Segi positif dari partisipasi dalam
pelaksanaan adalah sebagian besar dari suatu program (tentang penilaian
kebutuhan dan perencanaan program) telah selesai dikerjakan. Segi negatifnya
adanya kecenderungan menjadikan warga masyarakat sebagai objek pembangunan,
dimana warga masyarakat dijadikan pelaksana pembangunan tanpa didorong untuk
mengerti dan menyadari permasalahan yang mereka hadapi, dan tanpa timbulnya
keinginan untuk mengatasi masalahnya. Akibatnya, warga masyarakat tidak secara
emosional terlibat dalam program yang berakibat kegagalan seringkali tidak
dapat dihindari.
Menurut Tjokroamidjojo (1990) bahwa
dalam partisipasi terdapat tiga tahapan, yaitu:
1)
Keterlibatan
dalam proses penentuan arah, strategi kebijaksanaan dalam perencanaan.
2)
Keterlibatan
dalam memikul beban dan tanggungjawab dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan.
3)
Keterlibatan
dalam memetik hasil dan manfaat pembangunan.
Selanjutnya Suratmo (1995) menyatakan
bahwa tujuan dasar dari partisipasi masyarakat Indonesia adalah (a) mengikutsertakan
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, (b) mengikutsertakan masyarakat
dalam pembangunan Negara dan (c) membantu pemerintah untuk dapat mengambil
kebijaksanaan dan keputusan yang lebih baik dan tepat.
Berdasarkan pengertian tentang
partisipasi masyarakat yang telah dikemukakan diatas, maka dapat juga
disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan/keterlibatan
masyarakat secara aktif baik secara moril maupun materil, yang bekerjasama
dalam mencapai tujuan bersama yang didalamnya menyangkut kepentingan individu.
Dengan begitu, terlihat jelas bahwa peran serta masyarakat menjadi demikian
pentingnya didalam setiap bentuk kegiatan pembangunan, karena dengan dukungan
masyarakat yang saling berinteraksi senantiasa memberikan harapan kearah
berhasilnya suatu kegiatan.
2) Pentingnya
Partisipasi.
Pentingnya partisipasi masyarakat
dalam pembangunan menurut Diana Conyers (1991) didasarkan tiga alasan utama,
yaitu :
1)
Partisipasi
masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kodisi,
kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program
pembangunan serta proyek-proyek akan gagal.
2)
Masyarakat
akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan
dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui
seluk-beluk proyek tersebut dan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek
tersebut.
3)
Adanya
anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam
pembangunan masyarakat sendiri.
Menurut Moeljarto (1994) partisipasi
menjadi amat penting, terdapat beberapa pembenaran, yaitu:
1)
Rakyat
adalah fokus sentral dan tujuan akhir pembangunan, partisipasi merupakan akibat
logis dari dalil tersebut.
2)
Partisipasi
menimbulkan harga diri dan kemampuan pribadi untuk dapat serta dalam keputusan
penting yang menyangkut masyarakat.
3)
Partisipasi
menciptakan suatu lingkungan umpan balik arus informasi tentang sikap,
aspirasi, kebutuhan dan kondisi daerah yang tanpa keberadaanya akan tidak
terungkap. Arus informasi ini tidak dapat dihindari untuk berhasilnya
pembangunan.
4)
Pembangunan
dilaksanakan lebih baik dengan dimulai dari mana rakyat berada dan dari apa
yang mereka miliki.
5)
Partisipasi
memperluas zona wawasan penerima proyek pembangunan.
6)
Partisipasi
akan memperluas jangkauan pelayanan pemerintak kepada seluruh masyarakat.
7)
Partisipasi
menopang pembangunan.
8)
Partisipasi
menyediakan lingkungan yang kondusif baik bagi aktualisasi potensi manusia
maupun pertumbuhan manusia.
9)
Partisipasi
merupakan cara yang efektif untuk membangun kemampuan masyarakat untuk
pengelolaan program pembangunan guna memenuhi kebutuhan daerah.
10) Partisipasi dipandang sebagai
pencerminan hak-hak demokratis individu untuk dilibatkan dalam pembangunan
mereka sendiri.
3) Bentuk
dan Jenis Partisipasi
Davis (Sastropoetro;1988) menjelaskan
bahwa dalam pelaksanaan program-program pembangunan, partisipasi juga dapat
dilihat dari bentuk dan jenisnya yakni :
1)
Bentuk
partisipasi yang nyata yaitu:
a)
Partisipasi
uang adalah bentuk partisipasi untuk memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian
kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan.
b)
Partisipasi
harta benda adalah partisipasi dalam bentuk menyumbang harta benda, biasanya
berupa alat-alat kerja atau perkakas.
c)
Partisipasi
tenaga adalah partisipasi yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk melaksanakan
usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan suatu program.
d)
Partisipasi
keterampilan, yaitu memberikan dorongan melalui keterampilan yang dimilikinya
kepada anggota masyarakat lainnya yang membutuhkannya.
2)
Jenis-jenis
partisipasi :
a)
Pikiran
( psychological participation).
b)
Tenaga
( physical participation).
c)
Pikiran
dan tenaga ( psy chological dan physical participation).
d)
Keahlian
( participation with skill).
e)
Barang
( material participation).
f)
Uang
( money participation).
Menurut Effendi partisipasi ada dua
bentuk yaitu partisipasi vertical dan partisipasi horizontal:
a)
Partisipasi
vertical adalah suatu bentuk kondisi tertentu dalam masyarakat yang terlibat
didalamnya atau mengambil bagian dalam suatu program pihak lain, dalam hubungan
mana masyarakat berada sebagai posisi bawahan.
b)
Partisipasi
horizontal adalah dimana masyarakatnya tidak mustahil untuk mempunyai prakarsa
dimana setiap anggota/kelompok masyarakat berpartisipasi secara horizontal
antara satu dengan yang lainnya, baik dalam melakukan usaha bersama maupun
dalam rangka melakukan kegiatan dengan pihak lain.
Berbagai defenisi diatas menggambarkan
beberapa prinsip yang terkandung dalam partisipasi khususnya dalam konteks
pembangunan, seperti adanya rasa kebersamaan, kesukarelaan dan kerjasama. Hal
yang sama juga terlihat dalam pandangan Santoso dan iskandar (1974),
berdasarkan pengalaman dilapangan dalam keikutsertaan masyarakat dalam
pembangunan, terdapat enam elemen dalam partisipasi yaitu :
a)
Rasa
senasib dan sepenanggungan.
b)
Keterkaitan
dengan tujuan hidup.
c)
Adanya
prakarsawan.
d)
Iklim
partisipasi.
e)
Adanya
pembangunan itu sendiri.
Selanjutnya dalam hal pemanfaatannya,
menurut Sutoro Eko dkk partisipasi juga dapat dipahami dalam 2 (dua) hal yaitu;
a)
Partisipasi
sebagai sebuah ALAT.
Partisipasi
dilihat sebagai sebuah proses yang didalam proses ini rakyat local (desa) dapat
bekerjasama atau bergabung dengan program pembangunan yang diperkenalkan oleh
siapa pun, secara eksternal. Partisipasi sebagai alat yang didalamnya prakarsa
semacam ini dapat dilaksanakan secara lebih efektif. Partisipasi warga desa
disponsori oleh perwakilan eksternal dan ia dilihat sebagai sebuah teknik untuk
membantu kemajuan program desa.
b)
Partisipasi
sebagai TUJUAN.
Partisipasi
dilihat sebagai tujuan itu sendiri. Tujuan itu dapat dinyatakan sebagai
pemberdayaan rakyat yang dipandang dari segi perolehan keahlian, pengetahuan
dan pengalaman mereka untuk mengambil tanggungjawab yang lebih besar untuk
pembangunan. Kemiskinan warga desa sering dipahami dari segi keterabaian dan
kekurangan akses dan control sumber daya yang mereka perlukan untuk meneruskan
dan memperbaiki hidup mereka.
4) Indikator
dan Karakteristik Partisipasi
Menurut loina Lalolo Krina P.(2003),
partisipasi masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan
itu sendiri, sehingga nantinya seluruh lapisan masyarakat akan memperoleh hak
dan kekuatan yang sama untuk menuntut atau mendapatkan bagian yang adil dari
manfaat pembangunan. Pembahasan lebih lengkap mengenai indikator dari partisipasi
dapat dilihat berikut ini :
1)
Didasarkan
pada asumsi bahwa organisasi pemerintahan akan bekerja lebih baik jika
anggota-anggota dalam stuktur diberi kesempatan untuk terlibat secara intim
dengan setiap keputusan organisasi. Hal ini menyangkut 2 aspek yaitu;
a)
Keterlibatan
aparat melalui terciptanya nilai dan komitmen diantara para aparat agar
termotivasi dengan kuat pada program yang diimplementasikan.
b)
Keterlibatan
publik, dalam desain dan implementasi program.
2)
Partisipasi
dibutuhkan dalam memperkuat demokrasi meningkatkan kualitas dan efektivitas
layanan publik. Dalam mewujudkan kerangka yang cocok bagi partisipasi perlu
dipertimbangkan beberapa aspek yaitu;
a)
Partisipasi
melalui konstitusional dan jaringan civil society.
b)
Partisipasi
individu dalam proses pengambilan keputusan, civil society sebagai service
provider.
c)
Local
kultur pemerintah.
d)
Faktor-faktor
lainnya, seperti transparansi substansi proses terbuka dan konsentrasi pada
kompetensi.
3)
Pemerintahan
partisipatif bercirikan;
a)
Fokusnya
adalah pada memberikan arah dan mengundang orang lain untuk berpartisipasi.
b)
Basis
konstitusional dan demokratis.
c)
Gabungan
antara pemerintah dan actor lain dalam masyarakat.
d)
Visi
dan pengembangan berdasarkan konsensus sangat penting.
e)
Pemerintah
hanya berperan sebagai chairperson
4)
Asumsi
dasar dari partisipasi adalah semakin dalam keterlibatan individu dalam
tantangan berproduksi, semakin produktif individu tersebut.
5)
Partisipasi
adalah prinsip bahwa setiap orang memiliki hak terlibat dalam pengambilan
keputusan di setiap kegiatan penyelenggeraan pemerintah. (buku pedoman
penguatan Pengamanan program pembangunan Daerah, Bappenas & Depdagri, 2002).
Dari beberapa indikator diatas dapat
disimpulkan bahwa prinsip partisipasi masyarakat menuntut masyarakat harus
diberdayakan, diberikan kesempatan dan diikutsertakan untuk berperan dalam
proses-proses birokrasi mulai dari tahap perencanaan pelaksanaan dan pengawasan
atau kebijakan publik.
Hetifah Sj. Sumarto (2008) menyebutkan
ada tiga karakteristik dari partisipasi yang dianggap ideal;
1)
Berpengaruh,
proses yang berlangsung memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan dan
pengambilan keputusan.
2)
Inklusif,
forum yang ada harus merepresentasikan populasi dan terbuka terhadap perbedaan
cara pandang maupun nilai-nilai, serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua
pihak untuk berperan serta.
3)
Deliberatif,
proses yang dijalankan harus memungkinkan adanya dialog yang terbuka, membuka
akses terhadap informasi, saling menghargai, ruang untuk saling memahami dan
membangun kerangka isu bersama dan menuju kepada kesepakatan bersama.
Karakteristik partisipasi menurut Saca
Firmansya
1)
Partisipasi
pasif/manipulative.
a)
Masyarakat
berpartisipasi dengan cara diberitahukan apa yang sedang atau telah terjadi.
b)
Pengumuman
sepihak oleh manajement atau pelaksana pproyek memperhatikan tanggapan
masyarakat.
c)
Informasi
yang dipertukarkan terbatas pada kalangan diluar kelompok sasaran professional
2)
Partisipasi
dengan cara memberikan pertanyaan.
a)
Maasyarakat
berpartisipasi dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian seperti
dalam quesionae atau sejenisnya.
b)
Masyarakat
tidak punya kesempatan untuk terlibat dan mempengaruhhi proses penyelesaian.
c)
Akurasi
hasil penelitian tidak dibahas bersama masyarakat
3)
Partisipasi
melalui konsultasi
a)
Masyarakat
berpartisipasi dengan cara berkonsultasi.
b)
Orang
luar mendengarkan dan membangun pandangan-pandangannya sendiri untuk kemudian
mendefenisikan permasalahan dan pemecahannya, dengan memodifikasi
tanggapan-tanggapan masyarakat.
c)
Tidak
ada peluang bagi pembuat keputusan bersama.
4)
Partisipasi
untuk insentif material.
a)
Masyarakat
berpartisipasi dengan cara menyediakan sumber daya seperti tenaga kerja, demi
mendapatkan makanan, upah, ganti rugi dan sebagainya.
b)
Masyarakat
tidak dilibatkan dalam eksperimen atau proses pembelajaran.
c)
Masyarakat
tidak punya andil untuk melanjutkan keguatan-kegiatan yang dilakukan pada saat
intensif yang disediakan/ diterima telah habis.
5)
Partisipasi
fungsional.
a)
Masyarakat
berpartisipasi dengan membentuk kelompok untuk mencapai tujuan yang berhubungan
dengan proyek.
b)
Pembentukan
kelompok setelah ada keputusan utama yang disepakati.
c)
Pada
awalnya kelompok masyarakat ini bergantung pada pihak luar tetapi pada saatnya
mampu sendiri.
6)
Partisipasi
interaktif.
a)
Masyarakat
berpartisipasi dalam analisis bersama yang mengarah pada perencanaan kegiatan
dan pembentukan lembaga sosial baru.
b)
Partisipasi
ini cenderung melibatkan metode inter-disiplin yang mencari keragaman
perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematis.
c)
Kelompok
masyarakat mempunyai peran control atas keputusan mereka sehingga mereka
mempunyai andil di dalam seluruh penyelenggeraan kegiatan.
B. ETIKA
LINGKUNGAN
1.
PENGERTIAN
Dalam kamus
umum Bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang asas-asas
akhlak (moral).
Menurut Ahmad
Amin, “etika adalah ilmu pengetahuan yang menjelaskan arti baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang
harus dicapai oleh manusia dalam perbuatan mereka, dan menunjukkan jalan untuk melakukan
apa yang seharusnya diperbuat oleh manusia."
Menurut
Soegarda Poerbakawatja, “etika adalah filsafat nilai, pengetahuan tentang
nilai-nilai, ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup
manusia semuanya, terutama mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang merupakan
pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya bentuk perbuatan”.
Menurut Martin
[1993], etika didefinisikan sebagai "the discipline which can act as the
performance index or reference for our control system". Dengan demikian,
etika akan memberikan semacam batasan maupun standard yang akan mengatur pergaulan
manusia didalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus
dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk
aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip
moral yang ada; dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai
alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum
(common sense) dinilai menyimpang dari kode etik Dengan demikian etika adalah
refleksi dari apa yang disebut dengan "self control", karena segala
sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial
(profesi) itu sendiri.
Etika
berkaitan dengan nilai-nilai hidup yang dianut oleh manusia, beserta
pembenarannya serta hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia (Gering
Supriadi, 1998:24).
Prinsip-prinsip
etika:
a)
Etika
kemanfaatan umum (utilitarianism ethics).
Setiap
langkah/tindakan yang menghasilkan kemanfaatan terbesar bagi kepentingan umum
haruslah dipilih dan dijadikan motivasi utama.
b)
Etika
kewajiban (duty ethics).
Ø
Setiap
sistem harus mengakomodasikan hal-hal yang wajib untuk diindahkan tanpa harus
mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin bisa timbul, berupa nilai moral umum
yang harus ditaati seperti jangan berbohong, jangan mencuri, harus jujur, dan
sebagainya.
Ø
Semua
nilai moral ini jelas akan selalu benar dan wajib untuk dilaksanakan, sekalipun
akhirnya tidak akan menghasilkan keuntungan bagi diri sendiri.
c)
Etika
kebenaran (right ethics).
Suatu
pandangan yang tetap menganggap salah terhadap segala macam tindakan yang
melanggar nilai-nilai dasar moralitas. Sebagai contoh tindakan plagiat ataupun
pembajakan hak cipta/karya orang lain, apapun alasannya akan tetap dianggap
salah karena melanggar nilai dan etika akademis.
d)
Etika
keunggulan/kebaikan (virtue ethics)
Suatu
cara pandang untuk membedakan tindakan yang baik dan salah dengan melihat dari
karakteristik (perilaku) dasar orang yang melakukannya. Suatu tindakan yang
baik/benar umumnya akan keluar dari orang yang memiliki karakter yang baik
pula. Penekanan di sini diletakkan pada moral perilaku individu, bukannya pada kebenaran
tindakan yang dilakukannya.
e)
Etika
sadar lingkungan (environmental ethics).
Ø
Suatu
etika yang berkembang di pertengahan abad 20 ini yang mengajak masyarakat untuk
berpikir dan bertindak dengan konsep masyarakat modern yang sensitif dengan
kondisi lingkungannya.
Ø
Pengertian
etika lingkungan di sini tidak lagi dibatasi ruang lingkup penerapannya merujuk
pada nilai-nilai moral untuk kemanusiaan saja, tetapi diperluas dengan
melibatkan "natural resources" lain yang juga perlu dilindungi,
dijaga dan dirawat seperti flora, fauna maupun obyek tidak bernyawa
(in-animate) sekalipun.
Etika disebut
juga filsafat moral merupakan cabang filsafat yang berbicara tentang tindakan
manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana
manusia harus bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam
norma, diantaranya norma hukum, norma moral, norma agama dan norma sopan
santun. Norma hukum berasal dari hukum dan perundang-undangan, norma agama
berasal dari agama, norma moral berasal dari suara hati dan norma sopan santun
berasal dari kehidupan sehari-hari. Aliran etika dalam kehidupan manusia
meliputi:
a)
Aliran
Deontologis.
Sesuatu
yang sudah dinyatakan dilarang maka apapun alasannya hal itu tetap tidak boleh
dilakukan.
b)
Aliran
Teleologis.
Sesuatu
yang mestinya dilarang tetapi suatu saat boleh dilakukan asal dengan tujuan
demi kebaikan.
Secara teoritis, etika mempunyai
pengertian sebagai berikut :
1)
Pertama, secara etimologis, etika berasal
dari kata Yunani ethos (jamaknya : ta etha), yang berarti
“adat-istiadat” atau “kebiasaan”. Dalam ari ini, etika berkaitan dengan
kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang
atau masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi
ke generasi yang lain.
2)
Kedua, etika dipahami dalam pengertian yang
berbeda dengan moralitas sehingga mempunyai pengertian yang jauh lebih luas. Dalam
pengertian ini, etika dimengerti sebagai refleksi kritis tentang bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak dalam situasi konkret, situasi khusus
tertentu. Etika adalah filsafat moral, atau ilmu yang membahas dan mengkaji
secara kritis persoalan benar dan salah secara moral, tentang bagaimana harus
bertindak dalam situasi konkret.
Etika
merupakan bagian filsafat, sebagai ilmu etika mencari kebenaran dan sebagai
filsafat etika mencari keterangan yang sedalamdalamnya. Etika berkaitan dengan
nilai-nilai hidup yang dianut oleh manusia beserta pembenarannya serta
hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia (Gering supriadi, 1998:24).
Ada beberapa
prinsip untuk menegakkan etika lingkungan ini, antara lain:
1)
Pertama,
sikap hormat terhadap alam merupakan suatu prinsip dasar bagi manusia sebagai
bagian dari alam semesta secara keseluruhan. Setiap anggota komunitas social mempunyai
kewajiban untuk menghargai kehidupan bersama (kohesivitas sosial), demikian
pula setiap anggota komunitas ekologis harus menghargai dan menghormati setiap
kehidupan dan spesies dalam komunitas ekologis.
2)
Kedua,
prinsip tanggung jawab yang dimiliki manusia terhadap alam semesta maupun
terhadap keberadaan dan kelestarian setiap bagian dan benda di alam semesta
ini. Tanggung jawab itu tidak hanya individual melainkan kolektif berupa
prakarsa, usaha, kebijakan dan tindakan bersama secara nyata untuk menjaga alam
semesta dengan segala isinya.
3)
Ketiga,
prinsip demokrasi. Keanekaragaman dan pluralitas adalah hakikat alam, hakikat
kehidupan itu sendiri. Setiap kecenderungan reduksionistis, antikeanekaragaman
dan antipluralitas berarti bertentangan dengan alam dan anti kehidupan.
4)
Keempat,
prinsip keadilan yang berbicara tentang akses yang sama bagi semua kelompok dan
anggota masyarakat dalam ikut menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya alam
dan pelestarian alam dan dalam ikut menikmati pemanfaatan sumber daya alam.
Pemanfaatan yang diskriminatif dan kapitalis seperti saat ini berarti
penghinaan buat pasal 33 UUD 1945.
Pada akhirnya,
etika lingkungan hidup harus dipahami sebagai refleksi kritis terhadap norma,
prinsip, dan nilai moral yang selama ini dikenal dalam komunitas manusia.
Termasuk, apa yang harus diputuskan manusia dalam membuat pilihan moral dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya yang berdampak pada lingkungan hidup. Pendekatan
penyelesaiannya pun tidak dapat parsial tetapi harus komprehensif, seperti
perubahan yang mendasar terhadap sistem pendidikan nasional yang saat ini jauh
dari akar kebutuhan objektif masyarakat.
Mentalitas
Frontier (Frontier Mentality) adalah mentalitas dasar atau etika yang
ditandai oleh tiga konsep ajaran dasar, (Chiras, 1985, hal. 435) yaitu :
1)
Bahwa
dunia sebagai penyedia sumber daya yang tak terbatas untuk digunakan oleh
manusia, dan tidak perlu berbagi dengan segala bentuk kehidupan lain yang
memerlukannya. Dengan kata lain “segala sesuatunya senantiasa tetap tersedia
terus dan itu semua untuk kita manusia”. Sebagian dari konsep ini, juga
terdapat anggapan bahwa bumi ini memiliki kapasitas yang tidak terbatas untuk
menerima dan mengolah pencemaran.
2)
Bahwa
manusia itu terpisah dari alam dan bukan merupakan bagian dari alam itu
sendiri.
3)
Bahwa
alam dilihat sebagai sesuatu yang harus ditundukkan. Teknologi adalah alat
ampuh bagi manusia untuk menundukkan alam, dan juga merupakan jawaban bagi
banyak permasalahan konflik antara masyarakat manusia dengan alam.
Secara lebih
rinci mentalitas Frontier ini menegaskan pemahamannya bahwa :
1)
Bumi
adalah bank sumber daya yang tak terbatas.
2)
Bila
persediaan sumber daya habis, kita pindah ke tempat lain.
3)
Hidup
akan semakin baik bila kita terus dapat menambahkan kesejahteraan material
kita.
4)
Harga
yang harus dibayar untuk setiap usaha adalah penggunaan materi, energi dan
tenaga kerja. Ekonomi pada dasarnya adalah ketiga hal tersebut.
5)
Alam
adalah untuk ditundukkan.
6)
Hukum
dan teknologi baru akan memecahkan masalah lingkungan yang kita hadapi.
7)
Kita
lebih tinggi dari pada alam, kita terpisah dari alam dan superior terhadap
alam.
8)
Limbah
adalah sesuatu yang harus diterima dari setiap usaha manusia.
Menurut
Menurut Masykuri etika yang harus digunakan masyarakat modern saat ini adalah
Etika Keberlanjutan (sustainable ethics) yang dikemukakan oleh Chiras (1985:
435) yang memiliki anggapan dasar bahwa :
1)
Bumi
merupakan sumber persediaan yang memiliki batas.
2)
Mendaur-ulang
dan menggunakan sumber daya yang dapat diganti akan mencegah terjadinya
kehabisan persediaan sumber daya.
3)
Nilai
hidup tidak di ukur dari besarnya uang kita di bank.
4)
Harga
setiap usaha, bukan hanya penggunaan energi, tenaga kerja dan materi tetapi
harga eksternal, seperti : kerusakan lingkungan dan kemerosotan derajat
kesehatan manusia harus juga diperhitungkan.
5)
Kita
harus memahami dan bekerja sama dengan alam.
6)
Usaha-usaha
individu dalam mengatasi masalah yang sangat menekan harus dibarengi dengan
hukum yang kuat serta teknologi yang tepat.
7)
Kita
adalah bagian dari alam, kita dikuasai oleh hukum alam, oleh karena itu harus
menghormati komponen hukum-hukum tersebut. Kita tidak lebih hebat dari alam.
8)
Limbah
adalah tidak dapat ditoleran, sehingga setiap limbah harus punya nilai guna.
2. TEORI
ETIKA
Karena etika
berkaitan dengan refleksi kritis, untuk menjawab pertanyaan, bagaimana kita
harus bertindak dalam situasi konkret tertentu, ada tiga jawaban berbeda. Jawaban
pertama dikenal sebagai teori deontologi, jawaban kedua dikenal sebagai teori
teleologi, dan jawaban ketiga dikenal sebagai etika keutamaan. Ketiga teori ini
juga berguna untuk menjawab pertanyaan, bagaimana menilai suatu tindakan yang
baik secara moral.
a) Etika
Deontologi.
Istilah ”deontologi” berasal dari kata
Yunani deon, yang berarti kewajiban, dan logos berarti ilmu atau teori.
Terhadap pertanyaan bagaimana bertindak dalam situasi konkret tertentu, deontology
menjawab: lakukan apa yang menjadi kewajibanmu sebagaimana terungkap dalam
norma dan nilai-nilai moral yang ada. Sejalan dengan itu, menurut etika
deontologi, suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan
itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Dengan kata lain, suatu tindakan
dianggap baik karena tindakan itu memang baik pada dirinya sendiri, sehingga merupakan
kewajiban yang harus kita lakukan. Sebaliknya, suatu tindakan dinilai buruk
secara moral karena tindakan itu memang buruk secara moral sehingga tidak
menjadi kewajiban untuk kita lakukan.
Dengan demikian, etika deontologi sama
sekali tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut: baik atau buruk.
Akibat dari suatu tindakan tidak pernah diperhitungkan untuk menentukan
kualitas moral suatu tindakan. Hal ini akan membuka peluang bagi subyektivitas
dan rasionalisasi yang menyebabkan kita ingkar akan kewajiban-kewajiban moral.
Immanuel Kant (1734-1804) menolak akibat suatu tindakan sebagai dasar untuk
menilai tindakan tersebut karena akibat tadi tidak menjamin universalitas dan
konsistensi kita dalam bertindak dan menilai suatu tindakan.
Dalam perspektif itu, membuang limbah
ke sungai, misalnya, akan dinilai buruk secara moral bukan karena tidak sesuai
dengan kewajiban moral untuk hormat kepada alam (respect for nature).
Atas dasar itu, etika deontologi
snagat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang kuat untuk bertindak
sesuai dengan kewajiban. Bahkan menurut Kant, kemauan baik harus dinilai baik
pada dirinya sendiri terlepas dari apapun juga. Maka, dalam menilai tindakan
kita, kemauan baik harus dinilai paling pertama dan menjadi kondisi dari
segalanya.
Menurut Kant, kemauan baik adalah
syarat mutlak untuk bertindak secara moral. Kemauan baik menjadi kondisi yang
mau tidak mau harus dipenuhi agar manusia dapat bertindak secara baik,
sekaligus membenarkan tindakannya itu. Maksudnya, bisa saja akibat dari suatu
tindakan memang baik, tetapi kalau tindakan itu tidak dilakukan berdasarkan
kemauan baik untuk menaati hukum moral yang merupakan kewajiban seseorang,
tindakan itu tidak bias dinilai baik. Akibat baik tadi bisa saja hanya
merupakan sebuah kebetulan.
Atas dasar itu, menurut Kant, tindakan
yang baik adalah tindakan yang tidak saja sesuai dengan kewajiban tetapi karena
dijalankan berdasarkan dan demi kewajiban. Ia menolak segala tindakan yang
baik, walaupun tindakan itu mendatangkan konsekuensi yang baik. Demikian pula,
semua tindakan yang dilaksanakan sesuai dengan kewajiban, tetapi tidak
didasarkan pada kemauan baik untuk menghormati perintah universal, melainkan,
misalnya, karena terpaksa, akan dianggap sebagai tindakan yang tidak baik.
Dalam kaitan dengan ini, hal yang juga prinsip dan penting bagi Kant, yaitu
melakukan suatu tindakan moral haruslah dengan kemauan keras atau otonomi
bebas.
Secara singkat, ada tiga hal yang
harus dipenuhi: (1) supaya suatu tindakan mempunyai nilai moral, tindakan itu
harus dilaksanakan berdasarkan kewajiban. (2) nilai moral suatu tindakan bukan
bergantung dari tercapainya tujuan tindakan itu melainkan pada kemauan baik
yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan tersebut-kalaupun tujuannya
tidak tercapai, tindakan itu sudah dinilai baik. (3) konsekuensi dari kedua hal
tersebut, kewajiban untuk mematuhi hukum moral universal adalah hal yang
niscaya bagi suatu tindakan moral.
Bagi Kant, hukum moral telah tertanam
dalam hati setiap orang dan karena itu bersifat universal. Hukum moral itu
dianggap sebagai perintah tak bersyarat (imperatif kategoris), yang berarti
hukum moral itu berlaku bagi semua orang pada segala situasi dan tempat. Ia
mengikat siapa saja dari dalam dirinya sendiri karea hukum moral itu telah
tertanam dalam hati setiap orang.
b) Etika
Teleologi
Istilah ”teleologi” berasal dari kata
Yunani telos, yang berarti tujuan, dan logos berarti ilmu atau teori. Berbeda
dengan etika deontologi, etika teleologi menjawab pertanyaan bagaimana
bertindak dalam situasi konkret tertentu dengan melihat tujuan atau akibat dari
suatu tindakan. Dengan kata lain, etika teleologi menilai baik-buruk suatu
tindakan berdasarkan tujuan atau akibat dari suatu tindakan tersebut. Suatu
tindakan dinilai baik kalau bertujuan baik dan mendatangkan akibat baik.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa
etika teleologi lebih bersifat situasional dan subyektif. Kita bisa bertindak
berbeda dalam situasi lain tergantung dari penilaian kita tentang akibat yang
jelasjelas bertentangan dengan norma dan nilai moral bisa dibenarkan oleh etika
teleologi hanya karena tindakan itu membawa akibat yang baik.
Persoalannya, tujuan yang baik itu
untuk siapa, untuk pribadi, untuk pihak pengambil keputusan dan yang
melaksanakan keputusan atau bagi banyak orang? Apakah tindakan tertentu dinilai
baik hanya karena berakibat baik untuk saya, atau baik karena berakibat baik bagi
banya orang? Berdasarkan jawaban atas pertanyaan ini, etika teleologi bisa
digolongkan menjadi dua yaitu egoisme etis dan utilitarianisme.
Egoisme etis menilai suatu tindakan
sebagai baik karena berakibat baik bagi dirinya sendiri. Kendati bersifat egoistis,
tindakan ini diniali baik secara moral karena setiap orang dibenarkan untuk
mengejar kebahagiaan dirinya. Oleh karena itu, setiap tindakan yang
mendatangkan kebahagiaan diri sendiri akan dinilai baik secara moral.
Sebaliknya, buruk kalau kita membiarkan diri kita menderita dan dirugikan.
Utilitarianisme menilai baik buruknya
suatu tindakan berdasarkan akibatnya bagi banyak orang. Etika utilitarianisme
ini pertama kali dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832).
Secara singkat, prinsip yang dianut etika
utilitarianisme adalah bertindaklah sedemikian rupa agar tindakanmu itu
mendatangkan manfaat sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin orang (the
greatest good for the greatest number). Tidak usah bersusah payah mencari
norma dan nilai moral yang menjadi kewajiban kita. Yang perlu kita lakukan
hanya menimbang-nimbang akibat dari suatu tindakan untuk melihat apakah dari
suatu tindakan untuk melihat apakah bermanfaat atau merugikan.
Etika utilitarianisme mempunyai tiga
keunggulan yaitu (1) kriterianya rasional, (2) etika utilitarianisme menghargai
kebebasan setiap individu dalam menentukan sikap moral, dalam mengambil
keputusan dan tindakan, (3) utilitarianisem lebih mengutamakan kepentingan
banyak orang darpada kepentingan sendiri atau segelintir orang.
Ketiga unggulan ini menyebabkan etika
utilitarianisme banyak dipakai-secara sadar ataupun tidak-dalam berbagai
kebijakan dan tindakan publik. Idealnya, suatu kebijakan publik membawa manfaat
atau menguntungkan bagi semua orang dan pihak terkait. Dalam banyak kasus, ini
tidak mungkin karena semua orang mempunyai kepentingan yang berbeda. Secara
moral, suatu kebijakan akan dinilai benar secara moral, kalau memenuhi tiga
kriteria tersebut. Ketika kita tidak bisa memuaskan semua orang, kebijakan
tersebut dinilai baik secara moral, paling tidak sebagian terbesar orang atau
pihak terkait diuntungkan dengan kebijakan tersebut.
Hanya saja, etika utilitarianisme pun
tidak luput dari kelemahan. Walaupun sepanjang sejarahnya merupakan sebuah
teori etika yang sangat populer dan banyak digunakan, utilitarianisme tidak
lupa dari berbagai kritik yaitu (1) utilitarianisme membenarkan ketidakadilan.
Maksudnya, dengan membenarkan suatu kebijakan atau tindakan hanya karena
membawa manfaat bagi sebagian besar orang, utilitarianisme telah membenarkan
kebijakan atau tindakan tersebut merugikan kepentingan sebagian kecil orang
yang tidak mendapatkan manfaatdari kebijakan atau tindakan tadi. Kendati ada
segelintir orang yang haknya dirugikan, kebijakan tersebut dianggap benar hanya
karena membawa manfaat bagi lebih banyak orang. Jelas ini tidak adil. (2)
manfaat merupakan sebuah konsep yang begitu luas, sehingga dalam kenyataan
praktis menimbulkan kesulitan. (3) sering kali beberapa variabel sulit
dikuantifikasi sehingga tidak mudah untuk menentukan manakah manfaat terbesar
dibandingkan dengan yang lainnya. (4) manfaat yang dimaksudkan oleh etika
utilitarianisme sering dilihat dalam jangka pendek. Padahal, dalam menilai
akibat suatu tindakan kita harus melihatnya dalam jangka panjang. (5) V tidak
menganggap serius nilai suatu tindakan, atau lebih tepat lagi sebuah norma atau
kewajiban melainkan hanya memperhatikan akibatnya. (6) seandainya ketiga
kriteria tersebut saling bertentangan, ada kesulitan dalam menentukan prioritas
di antara ketiganya.
Para filsuf penganut etika
utilitarianisme menyadari kelemahan-kelemahan etika ini. Oleh karena itu, salah
satu jalan keluar yang disodorkan dengan membedakan dua tingkatan etika
utilitarianisme yaitu (1) utilitarianisme aturan dan (2) utilitarianisme
tindakan.
c) Etika
Keutamaan
Berbeda dengan kedua teori etika di
atas, etika keutamaan (virtue ethics) tidak mempersoalkan akibat suatu
tindakan. Juga, tidak mendasarkan penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum
moral universal. Etika keutamaan lebih mengutamakan pengembangan karakter moral
pada diri setiap orang.
Dalam kaitan dengan itu, sebagaimana
dikatakan Aristoteles, nilai moral ditemukan dan muncul dari pengalaman hidup
dalam masyarakat, dari teladan dan contoh hidup yang diperlihatkan oleh tokoh-tokoh
besar dalam suatu masyarakat dalam menghadapi dan menyikapi persoalan-persoalan
hidup ini. Di sana kita menemukan nilai moral tertentu, dan belajar
mengembangkan dan menghayati nilai tersebut. Jadi, nilai moral bukan muncul
dalam bentuk adanya aturan berupa larangan dan perintah, melainkan dalam bentuk
teladan moral yang nyata dipraktekkan oleh tokoh-tokoh tertentu dalam
masyarakat. Dari teladan hidup orang-orang itu kita mengenal dan belajar nilai
dan keutamaan moral seperti kesetiaan, saling percaya, kejujuran, ketulusasn,
kesediaan berkorban bagi orang lain, kasih sayang, kemurahan hati, dan
sebagainya.
Dengan demikian, etika keutamaan
sangat menekankan pentingnya sejarah dan cerita-termasuk cerita dongeng dan
wayang. Dari sejarah-khususnya sejarah kehebatan moral para tokoh besardan dari
cerita dongeng ataupun sastra kita belajar tentang nilai dan keutamaan, serta
berusaha menghayati dan mempraktekannya seperti tokoh dalam sejarah, dalam
cerita atau dalam kehidupan masyarakat. Tokoh dengan teladannya menjadi model
untuk kita tiru.
Jadi, dalam menjawab pertanyaan
bagaimana kita harus bertindak secara moral dalam situasi konkret yang
dilematis, etika keutamaan menjawab: teladanilah sikap dan perilaku moral tokoh
- tokoh yang kita kenal, baik dalam masyarakat, sejarah atau dalam cerita yang
kita ketahui, ketika mereka menghadapi masalah serupa. Lakukan seperti yang
dilakukan para tokoh moral itu. Itulah tindakan benar secara moral.
Menurut teori etika keutamaan, orang
bermoral tidak pertamatama ditentukan oleh kenyataan bahwa dia melakukan suatu
tindakan bermoral. Pribadi moral terutama ditentukan oleh kenyataan seluruh
hidupnya, yaitu bagaimana dia hidup baik sebagai manusia sepanjang hidupnya.
Jadi, bukan tindakan satu per satu yang menentukan kualitas moralnya. Akan
tetapi, apakah dalam semua situasi yang dihadapi ia mempunyai posisi,
kecenderungan, sikap dan perilaku moral yang terpuji serta sikap dan
perilakunya tidak pernah berubah. Maka, yang dicari adalah keutamaan, excellence,
kepribadian moral yang menonjol. Ia dikenal sebagai orang yang teruji secara
moral dan karena itu terpuji/terhormat. Dia tahan terhadap setiap godaan untuk
menyimpang dari sikap dasarnya. Dia adalah orang yang berprinsip, yang
mempunyai integritas moral yang tinggi sebagaimana dipelajari tokoh-tokoh besar
dalam hidupnya atau dari sejarah dan cerita-cerita yang diketahuinya.
Pribadi yang bermoral adala orang yang
berhasil mengembangkan suatu disposisi, sikap, dan kecenderungan moral melalui
kebiasaan yang baik sehingga perilaku dan perbuatannya selalu bermoral. Ia
bukan orang yang sekadar melakukan sesuatu yang adil (doing something that
is just), melainkan orang yang adil sepanjang hidupnya (being a just
person). Ia bukan sekadar orang yang melakukan tindakan yang baik, meliankan
orang yang baik.
Keunggulan teori ini bahwa moralitas
dalam suatu masyarakat dibangun, pertama, melalui cerita. Melalui cerita
dan sejarah disampaikan pesan-pesan, niali-nilai, dan keutamaan-keutamaan moral
agar ditiru dan dihayati oleh anggota masyarakat. Orang juga belajar moralitas
melalui keteladanan nyata dari tokoh, pemimpin atau orang yang dihormati dalam
masyarakat tersebut. Ada contoh nyata yang bisa ditiru dan dari sana menjalar
perilaku moral tersebut kepada banyak orang. Keutamaan moral tidak diajarkan
melalui indoktrinasi, perintah dan larangan, tetapi teladan dan contoh nyata,
khususnya dalam menetukan sikap di dalam situasi yang dilematis.
Etika keutamaan sangat menghargai
kebebasan dan rasionalitas manusia, karena pesan moral hanya disampaikan
melalui cerita dan teladan hidup para tokoh lalu membiarkan setiap orang untuk
menangkap sendiri pesan moral itu. Juga, setiap orang dibiarkan menggunakan
akal budinya untuk menafsirkan pesan moral itu. Artinya, terbuka kemungkinan
setiap orang mengambil pesan moral yang khas bagi dirinya, dan melalui
kehidupan itu kehidupan moral menjadi sangat kaya oleh berbagai penafsiran.
Sesungguhnya agama, dengan Kitab-kitab
suci dan tokohtokohnya berupa para nabi, melakukan hal yang sama. Melalui
cerita dalam Kitab Suci, baik tentang perumpamaan tertentu, kasus tertentu atau
tentang perbuatan nabi tertentu, umat diajarkan tentang nilai dan keutamaan
moral tertentu dan diharapkan untuk meneladani dan menghayati nilai dan
keutamaan moral itu dalam hidunya. Demikian pula, sepanjang sejarah agama
tersebut, muncul orang kudus, martir, dan orang saleh yang melalui teladannya
mengajarkan keutamaan, nilai moral, dan hal baik yang harus dilakukan.
Sayangnya, etika keutamaan pada setiap agama ini luntur atau bahkan hilang ditelan
kecenderungan dogmatisme dan indoktrinasi yang begitu kuat pada agama-agama
itu.
Akan tetapi, kelemahan etika keutamaan
ini bahwa dalam masyarakat pluralistik, akan muncul berbagai keutamaan moral
yang berbeda-beda sesuai dengan sumber budaya dan agama, atau cerita dan
sejarah yang diajarkan. Kedua, dalam masyarakat modern dimana
cerita-apalagi cerita dongeng-tidak diberi tempat, moralitas bisa kehilangan
relevansinya. Ketiga, dalam masyarakat dimana sulit ditemukan adanya
tokoh publik yang bisa menjadi teladan moral, moralitas akan mudah hilang dari
masyarakt tersebut. Ini terutama terjadi dalam masyarakat materialistis seperti
sekarang ini. Contoh dan teladan yang kita temukan sehari-hari adalah contoh
dan teladan bagaimana menjadi kaya, termasuk melaui cara yang tidak halal,
seperti korupsi, bisnis yang curang, dan sebagainya.
Hal yang menarik dari etika keutamaan
ini adalah kita perlu membangun watak, karakter dan kepribadian moral. Dalam
kaitan dengan itu, peran pemimpin dan tokoh publik sangat penting untuk memberi
teladan yang baik dalam hal kehidupan moral.
Lingkungan adalah keadaan sekitar yang
mempengaruhi perkembangan dan tingkah laku makhluk hidup. Segala sesuatu yang
ada di sekitar manusia yang mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik
langsung maupun tidak langsung juga merupakan pengertian lingkungan.
Menurut Undang Undang RI No. 4 tahun
1982, tentang Kententuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
dikatakan bahwa: Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,
daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain.
Otto Soemarno, seorang pakar
lingkungan mendefinisikan lingkungan hidup sebagai berikut: lingkungan adalah
jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati yang
mempengaruhi kehidupan kita. Pengertian lingkungan hidup menurut S. J.
McNaughton dan Larry L. Wolf adalah semua faktor eksternal yang bersifat
biologis dan fisika yang langsung mempengaruhi kehidupan, pertumbuhan,
perkembangan, dan reproduksi manusia.
Menurut Emil Salim (1985) dalam
bukunya: Lingkungan Hidup dan Pembangunan, menyatakan bahwa lingkungan hidup
adalah segala benda, daya, kondisi, keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam
ruang yang kita tempati dan mempunyai hal-hal yang hidup termasuk kehidupan
manusia. Lingkungan hidup menurut Mohamad Soerjani dan Surna T. Djajadiningrat
(1985) dikaji oleh ilmu lingkungan yang landasan pokoknya adalah ekologi, serta
dengan mempertimbangkan disiplin lain, terutama ekonomi dan geografi.
Dari berbagai pengertian lingkungan
yang sama itu perlu disadari bahwa pengelolaan oleh manusia sampai saat ini
tidak sesuai dengan etika lingkungan. Etika lingkungan sangat dibutuhkan untuk
menyeimbangkan alam semesta, sementara itu manusia beranggapan bahwa manusia
bukan bagian dari alam semesta sehingga manusia secara bebas mengelolanya bahkan
sampai merusak lingkungan hidup.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
etika diartikan ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Etika adalah
sebuah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma dalam menentukan
perilaku manusia. Etika lingkungan merupakan kebijakan moral manusia dalam
berhubungan dengan lingkungannya. Etika lingkungan sangat diperlukan agar
setiap kegiatan yang menyangkut lingkungan dipertimbangkan secara cermat
sehingga keseimbangan lingkungan tetap terjaga.
Di dalam etika lingkungan terdapat
prinsip-prinsip yang digunakan. Adapun prinsip-prisip etika lingkungan menurut
Sony Keraf antara lain:
a)
Sikap
hormat terhadap alam.
b)
Prinsip
tanggung jawab.
c)
Solidaritas
kosmis.
d)
Kasih
sayang dan kepedulian terhadap alam.
e)
Tidak
merugikan.
f)
Hidup
sederhana dan serasi dengan alam.
g)
Keadilan.
h)
Demokrasi.
i)
Integritas
moral.
Salah satu prinsip dari etika
lingkungan adalah kasih sayang dan kepedulian terhadap alam atau lingkungan,
kata peduli adalah menaruh perhatian, mengindahkan, memperhatikan, dan
menghiraukan. Sedangkan kepedulian adalah pilihan sangat peduli atau sikap
mengindahkan. Maka dapat disimpulkan bahwa kepedulian lingkungan adalah peka
dan peduli terhadap hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan sekitar dan
senantiasa memperbaiki bila terjadi pencemaran atau ketidakseimbangan.
Kepedulian terhadap lingkungan hidup
dapat ditinjau dengan dua tujuan utama: pertama, dalam hal tersedianya
sumber daya alam, sampai sejauhmana sumber-sumber tersebut secara ekonomik
menguntungkan untuk digali dan kemudian dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan
guna membiayai kegiatan pembagunan. Kedua, jika kekayaan yang dimiliki
memang terbatas dan secara ekonomik tidak menguntungkan untuk digali dan
diolah, maka untuk selanjutnya strategi apa yang perlu ditempuh untuk memenuhi
kebutuhan dan tuntutan pembagunan bangsa yang bersangkutan.
Peduli terhadap lingkungan berarti
ikut melestarikan lingkungan hidup dengan sebaik-baiknya, bisa dengan cara
memelihara, mengelola, memulihkan serta menjaga lingkungan hidup. Pedoman yang
harus diperhatikan dalam kepedulian atau pelestarian lingkungan antara lain:
a)
Menghindarkan
dan menyelamatkan sumber bumi dari pencemaran dan kerusakan.
b)
Menghindari
tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan pencemaran, merusak kesehatan dan
lingkungan.
c)
Memanfaatkan
sumberdaya alam yang renewable (yang tidak dapat diganti) dengan
sebaik-baiknya.
d)
Memelihara
dan memperbaiki lingkungan untuk generasi mendatang.
Pengelolaan lingkungan dapat kita
artikan sebagai usaha sadar untuk memelihara atau memperbaiki mutu lingkungan
agar kebutuhan dasar kita dapat terpenuhi dengan sebaik-baiknya. Sadar
lingkungan adalah kesadaran untuk mengarahkan sikap dan pengertian masyarakat
terhadap pentingnya lingkungan yang bersih, sehat dan sebagainya. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kesadaran lingkungan:
a)
Faktor
ketidaktahuan.
Tidak-tahu berlawanan dengan kata
tahu. Poedjawijatna menyatakan bahwa sadar dan tahu itu sama (sadar = tahu). Jadi
apabila berbicara tentang ketidaktahuan maka hal itu juga membicarakan
ketidaksadaran. Seseorang yang tahu akan arti pentingnya lingkungan sehat bagi
makhluk hidup, maka orang tersebut akan senantiasa menjaga dan memelihara
lingkungan.
b)
Faktor
kemiskinan.
Kemiskinan membuat orang tidak peduli
dengan lingkungan. kemiskinan adalah keadaan ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup minimum. Dalam keadaan miskin, sulit sekali berbicara tentang
kesadaran lingkungan, yang dipikirkan hanya cara mengatasi kesulitannya,
sehingga pemikiran tentang pengelolaan lingkungan menjadi terabaikan.
c)
Faktor
kemanusiaan.
Kemanusiaan diartikan sebagai
sifat-sifat manusia. Menurut Chiras (1991) dikatakan manusia adalah bagian dari
alam atau pengatur alam. Pengatur atau penguasa disini diartikan manusia
memiliki sifat serakah, yaitu sifat yang menganggap semuanya untuk dirinya dan
keturuannya. Adanya sifat dasar manusia yang ingin berkuasa maka manusia
tersebut mengenyampingkan sifat peduli terhadap sesama.
d)
Faktor
gaya hidup.
Dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi (Iptek) dan teknologi informasi serta komunikasi yang sangat pesat,
tentunya berpengaruh pula terhadap gaya hidup manusia. Gaya hidup yang
mempengaruhi perilaku manusia untuk merusak lingkungan adalah gaya hidup
hedonism (berfoya-foya), materialistik (mengutamakan materi), sekularisme
(mengutamakan dunia), konsumerisme (hidup konsumtif), serta individualisme
(mementingkan diri sendiri).
Pandangan yang beranggapan alam
bernilai hanya sejauh ia bermanfaat bagi kepentingan manusia akan menimbulkan
kepedulian lingkungan yang dangkal serta perhatian kepada kepentingan ligkungan
sering diabaikan. Lingkungan hidup pada mulanya berada dalam keseimbangan dan
keserasian, karena komponen-komponen ekosistem berfungsi dengan baik
sebagaimana mestinya. Namun sangat disanyangkan, keadaan alam sekarang
dibandingkan 10–20 tahun yang lalu sangat terasa adanya perbedaan yang
mencolok, hal ini tidak lain karena terjadinya eksploitasi besar-besaran oleh
manusia baik secara sadar maupun tak sadar. Lingkungan hidup baik biotik maupun
abiotik berpengaruh dan dipengaruhi oleh manusia.
3.
APLIKASI
Prinsip-prinsip
etika lingkungan mencakup komunitas ekologi seluruhnya. Hakekatnya manusia
bukan hanya makhluk sosial melainkan juga makhluk ekologis. Penerapan prinsip
Etika Lingkungan harus dimulai sejak dari dini agar setiap individu sadar akan
pentingnya menjaga lingkungan demi kesejahteraan mereka sendiri. Adapun prinsip
– prinsip Etika Lingkungan menurut Sony Keraf (2002:144) adalah :
a)
Sikap
hormat terhadap alam.
Dalam
hal ini manusia diharapkan mengakui bahwa alam semesta perlu dihormati lepas
apakah dia mengikuti konsep antroposentrisme, biosentrisme maupun
eksosentrisme.
b)
Prinsip
tanggung jawab.
Tanggung
jawab disini tidak hanya tanggung jawab individual tetapi juga kolektif, dimana
tanggung jawab moral menuntut manusia untuk mengambil prakarsa, usaha,
kebijakan dan tindakan bersama secara nyata untuk menjaga alam semesta dan
segala isinya.
c)
Solidaritas
kosmis.
Manusia
mempunyai kedudukan sederajat dan setara dengan alam dan makhluk hidup di alam.
Kesadaran ini membangkitkan dalam diri manusia perasaan solider dan
sepenanggungan dengan alam dan sesama makhluk hidup lain.
d)
Kasih
sayang dan kepedulian terhadap alam.
Sebagai
sesama anggota komunitas ekologis yang setara manusia digugah untuk mencintai,
menyayangi dan peduli pada alam dan isinya tanpa diskriminasi dan dominasi.
Kasih sayang dan kepedulian ini juga muncul dari kenyataan bahwa sebagai sesama
anggota komunitas ekologis semua makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi,
dipelihara, dirawat dan tidak disakiti.
e)
Tidak
merugikan.
Manusia
mempunyai kewajiban moral dan tanggung jawab terhadap alam. Paling tidak
manusia tidak mau merugikan alam. Oleh karena itu manusia diupayakan tidak
melakukan tindakan yang merugikan atau mengancam eksistensi makhluk hidup lain di
alam semesta ini sebagaimana manusia tidak dibenarkan juga secara moral untuk
bertindak yang merugikan sesama manusia.
f)
Hidup
sederhana dan selaras dengan alam.
Prinsip
ini menekankan nilai kualitas cara hidup yang baik dan bukan hanya kekayaan.
Sarana standar material yang ditekankan dalam kehidupan bukan rakus dan tamak
mengumpulkan sebanyak-banyaknya harta. Yang lebih penting adalah mutu kehidupan
yang lebih baik.
g)
Keadilan.
Dalam
hal ini akses yang sama bagi semua kelompok dan anggota masyarakat dalam ikut
menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan ikut juga menikmati
pemanfaaatan sumber daya alam atau alam semesta seluruhnya.
h)
Demokrasi.
Terkait
erat dengan hakekat alam. Isi alam selalu beraneka ragam. Keanekaragaman adalah
hakekat alam, hakekat kehidupan itu sendiri. Oleh sebab itu setiap
kecenderungan reduksionistis dan anti keanekaragaman serta anti pluralitas bertentangan
dengan alam dan anti kehidupan. Demokrasi memberi tempat seluas bagi perbedaan
keanekaragaman maupun yang lain. Oleh karena itu orang yang peduli dengan lingkungan
adalah orang yang demokratis. Orang yang demokratis sangat mungkin seorang
pemerhati lingkungan.
i)
Integritas
moral.
Integritas
moral terutama dimaksudkan untuk pejabat publik. Pejabat dituntut untuk
mempunyai sikap dan perilaku moral yang terhormat serta memegang teguh prinsip
moral yang mengutamakan kepentingan publik. Dituntut bersih dan disegani karena
mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan dan masyarakat.
Didalam kehidupan
sehari-hari banyak kita lihat perilaku manusia yang melanggar etika maupun yang
masih memegang ajaran etika dalam melakukan aktifitas kehidupannya. Dibawah ini
contoh penerapan konkrit etika di dalam lingkungannya :
Berjalan
dengan sikap wajar dan tawadlu, tidak berlagak sombong di saat berjalan atau
mengangkat kepala karena sombong atau mengalihkan wajah dari orang lain karena
takabbur.
a)
Allah
SWT berfirman yang artinya: QS. Luqman: 18 :
"Dan janganlah kamu memalingkan
mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi
dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri". Memelihara pandangan mata, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
b)
Allah
Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: QS. An-Nur: 30-31 :
"Katakanlah kepada orang
laki-laki beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya
Allah Yang Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada
wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya...." Tidak mengganggu, yaitu tidak membuang
kotoran, sisa makanan di jalan-jalan manusia, dan tidak buang air besar atau
kecil di situ atau di tempat yang dijadikan tempat mereka bernaung.
c)
Muttafaq'alaih
:
Menyingkirkan gangguan dari jalan. Ini
merupakan sedekah yang karenanya seseorang bisa masuk surga. Dari Abu Hurairah
Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
sallam bersabda: "Ketika ada seseorang sedang berjalan di suatu jalan, ia
menemukan dahan berduri di jalan tersebut, lalu orang itu menyingkirkannya.
Maka Allah bersyukur kepadanya dan mengampuni dosanya..." Di dalam suatu
riwayat disebutkan: maka Allah memasukkannya ke surga". Menjawab salam
orang yang dikenal ataupun yang tidak dikenal. Ini hukumnya wajib, karena
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:"Ada lima perkara wajib
bagi seorang muslim terhadap saudaranya- diantaranya: menjawab salam".
Menunjukkan orang yang tersesat (salah jalan), memberikan bantuan kepada orang
yang membutuhkan dan menegur orang yang berbuat keliru serta membela orang yang
teraniaya. Di dalam hadits disebutkan: "Setiap persendian manusia
mempunyai kewajiban sedekah...dan disebutkan diantaranya: berbuat adil di
antara manusia adalah sedekah, menolong dan membawanya di atas kendaraannya
adalah sedekah atau mengangkatkan barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah
sedekah dan menunjukkan jalan adalah sedekah...."
d)
HR.
Abu Daud, dan dinilai shahih oleh Al-Albani
Perempuan hendaknya berjalan di
pinggir jalan. Pada suatu ketika Nabi pernah melihat campur baurnya laki-laki
dengan wanita di jalanan, maka ia bersabda kepada wanita: "Meminggirlah
kalian, kalain tidak layak memenuhi jalan, hendaklah kalian menelusuri pinggir
jalan. Tidak ngebut bila mengendarai mobil khususnya di jalanjalan yang ramai
dengan pejalan kaki, melapangkan jalan untuk orang lain dan memberikan
kesempatan kepada orang lain untuk lewat. Semua itu tergolong di dalam
tolongmenolong di dalam kebajikan. (Sumber: Kitab "Etika Kehidupan Muslim
Sehari-hari" By : Al-Qismu Al-Ilmi-Dar Al-Wathan).
Contoh
konkret etika,
misalnya, dalam etika lingkungan, ”tidak membuang sampah sembarangan” merupakan
suatu bentuk etika terhadap lingkungan. Atau dengan kata lain, seseorang
dikatakan tidak mempunyai etika terhadap lingkungan apabila ia dengan sengaja
mencemari, misalnya sungai, dengan membuang sampah (limbah rumah tangga) ke
badan sungai.
Contoh lain,
misal etika sosial, ”orang merokok di sembarang tempat (tempat fasilitas umum
yang dilarang)”, dia dapat dikatakan tidak mempunyai etika karena orang lain
merasa terganggu, tetapi kasus ini merupakan penilaian secara subyektif sebab
mungkin ada juga orang yang tidak terganggu.
Contoh-contoh
lain etika, misalkan penerapan etika dengan dasar etika agama adalah sebagai
berikut:
a) Etika
Berbeda Pendapat.
1) Ikhlas dan mencari yang haq serta
melepaskan diri dari nafsu di saat berbeda pendapat. Juga menghindari sikap
show (ingin tampil) dan membela diri dan nafsu.
2) Mengembalikan perkara yang
diperselisihkan kepada Kitab Al-Qur'an dan Sunnah. Karena Allah Subhaanahu wa
Ta'ala telah berfirman yang artinya:
3) "Dan jika kamu berselisih
pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Kitab) dan
Rasul". (An-Nisa: 59).
4) Berbaik sangka kepada orang yang
berbeda pendapat denganmu dan tidak menuduh buruk niatnya, mencela dan menganggapnya
cacat.
5) Sebisa mungkin berusaha untuk tidak
memperuncing perselisihan, yaitu dengan cara menafsirkan pendapat yang keluar
dari lawan atau yang dinisbatkan kepadanya dengan tafsiran yang baik.
6) Berusaha sebisa mungkin untuk tidak
mudah menyalahkan orang lain, kecuali sesudah penelitian yang dalam dan difikirkan
secara matang.
7) Berlapang dada di dalam menerima kritikan
yang ditujukan kepada anda atau catatan-catatang yang dialamatkan kepada anda.
8) Sedapat mungkin menghindari
permasalahan-permasalahan khilafiyah dan fitnah.
9) Berpegang
teguh dengan etika berdialog dan menghindari perdebatan, bantah-membantah dan
kasar menghadapi lawan. (Sumber: Kitab "Etika Kehidupan Muslim
Sehari-hari" By : Al-Qismu Al-Ilmi-Dar Al-Wathan).
b) Etika di
Jalanan.
1) Berjalan
dengan sikap wajar dan tawadlu, tidak berlagak sombong di saat berjalan atau
mengangkat kepala karena sombong atau mengalihkan wajah dari orang lain karena takabbur.
Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: "Dan janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di
muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri". (Luqman: 18).
2) Memelihara
pandangan mata, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Allah Subhaanahu wa
Ta'ala berfirman yang artinya: "Katakanlah kepada orang laki-laki beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Yang Maha Mengetahui
apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya...."
(An-Nur: 30-31).
3) Tidak
mengganggu, yaitu tidak membuang kotoran, sisa makanan di jalan-jalan manusia,
dan tidak buang air besar atau kecil di situ atau di tempat yang dijadikan
tempat mereka bernaung.
4) Menyingkirkan
gangguan dari jalan. Ini merupakan sedekah yang karenanya seseorang bisa masuk
surga. Dari Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Ketika ada seseorang sedang
berjalan di suatu jalan, ia menemukan dahan berduri di jalan tersebut, lalu
orang itu menyingkirkannya. Maka Allah bersyukur kepadanya dan mengampuni dosanya..."
Di dalam suatu riwayat disebutkan: maka Allah memasukkannya ke surga".
(Muttafaq'alaih).
5) Menjawab
salam orang yang dikenal ataupun yang tidak dikenal. Ini hukumnya wajib, karena
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:"Ada lima perkara wajib
bagi seorang muslim terhadap saudaranya- diantaranya: menjawab salam".
(Muttafaq alaih).
6) Beramar
ma`ruf dan nahi munkar. Ini juga wajib dilakukan oleh setiap muslim,
masing-masing sesuai kemampuannya.
7) Menunjukkan
orang yang tersesat (salah jalan), memberikan bantuan kepada orang yang
membutuhkan dan menegur orang yang berbuat keliru serta membela orang yang teraniaya.
Di dalam hadits disebutkan: "Setiap persendian manusia mempunyai kewajiban
sedekah...dan disebutkan diantaranya: berbuat adil di antara manusia adalah
sedekah, menolong dan membawanya di atas kendaraannya adalah sedekah atau
mengangkatkan barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah sedekah dan
menunjukkan jalan adalah sedekah...." (Muttafaq alaih).
8) Perempuan
hendaknya berjalan di pinggir jalan. Pada suatu ketika Nabi pernah melihat
campur baurnya laki-laki dengan wanita di jalanan, maka ia bersabda kepada
wanita: "Meminggirlah kalian, kalain tidak layak memenuhi jalan, hendaklah
kalian menelusuri pinggir jalan. (HR. Abu Daud, dan dinilai shahih oleh
Al-Albani).
9) Tidak ngebut
bila mengendarai mobil khususnya di jalanjalan yang ramai dengan pejalan kaki,
melapangkan jalan untuk orang lain dan memberikan kesempatan kepada orang lain
untuk lewat. Semua itu tergolong di dalam tolongmenolong di dalam kebajikan. (Sumber:
Kitab "Etika Kehidupan Muslim Sehari-hari" By : Al-Qismu Al-Ilmi-Dar
Al-Wathan).
C. DAFTAR
PUSTAKA
Anonimous.,2000 Ringkasan Konferensi
Nasional Pengelolaan Sumber Daya Alam dan UNDP Country Programme for Indonesia,
Desember 2005: 1-6, 37-40.
Anu Lounella.,2006., Dinamika
Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat Belajar Dari Kasus Wonosobo,
makalah tidak dipublikasikan, Konggres Pluralisme Hukum ke 25, Universitas
Indonesia, Depok.
British Petroleum Statistical Review
of World Energy. 1991.
Chiras, D.D. 1985. Environmental
Science, A Framework for Decision Making. The Benyamin Cumming Publ. Inc.
California.
Danny, Q. (2001). ICT clusters in
development: theory and evidence. European Investment Bank papers, 6 (1). pp.
86-100. ISSN 0257- 7755.
Fuad Amsyari,1986. Masalah Pencemaran
Lingkungan, Ghalia Indonesia Jakarta, 1986.
Fleagle, RG and Businger, JA: An
introduction to atmospheric physics, 2nd edition, 1980.
Gering Supriyadi, Drs. MM., Etika
Birokrasi, LAN – RI, 1998.
George Session:1995 Deep Ecology for
the Twenty-First Century, Paperback Giacomelli, Gene A. and William J.
Roberts1, Greenhouse Covering Systems, Rutgers University Government of
Indonesia dalam UNDP, 2007.
Hardiwardoyo,1990. Perkawinan menurut
Islam dan Katolik: implikasinya dalam kawin campur. Yogyakarta : Kanisius.
Henderson-Sellers, A and McGuffie, K:
A climate modelling primer (quote: Greenhouse effect: the effect of the
atmosphere in rereadiating longwave radiation back to the surface of the Earth.
It has nothing to do with glasshouses, which trap warm air at the surface).
Idso, S.B.: Carbon Dioxide: friend or
foe, 1982 (quote: ...the phraseology is somewhat in appropriate, since CO2
does not warm the planet in a manner analogous to the way in which a greenhouse
keeps its interior warm).
Immanuel
Kant, 1734–1804 The man, his work and thought.
IPCC. 1990. Polymakes Summary of the
Scientific Assesement of Climate Change. Laporan Kelompok Kerja II. Kenya,
Nairobi.
Jhamtani, H. 1993. Pemanasan Global.
Yayasan Obor Indonesia, Kophalindo, Panos. Jakarta.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup
dan UNDP, 1998. Ringkasan Eksklusif Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia, Jakarta.
Keraf, A. Sony. 2002. Etika
Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta Kiehl, J.T., and Trenberth, K.
(1997). Earth's annual mean global energy budget, Bulletin of the American
Meteorological Society 78 (2), 197–208.
Lee, T.D. 1978. Handbook of variables
of environmental impact assesment. Arbor: an arbor science publisher inc.
Ludwig, A.J. and Reynolds, F.J. 1988.
Statistical ecology. New York. Wiley Interscience.Piexoto, JP and Oort, AH:
Physics of Climate, American Institute of Physics, 1992 (quote: ...the name
water vapor-greenhouse effect is actually a misnomer since heating in the usual
greenhouse is due to the reduction of convection).
Magnis-Suseno, Franz. 2001. Etika
Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Martin, 1993. "Is poverty
increasing in the developing world?," Policy Research Working Paper
Series 1146, The World Bank.Mariati, 1998, Bahan Kimia Berbahaya, Penataran
Pengelolaan Laboratorium Fakultas kedokteran USU, Medan.
Mariati, 1997, Bahan Kimia Beracun dan
berbahaya. Penataran Tenaga Laboran Dalam lingkungan Fakultas Pertanian USU
oleh USU training Center, Medan.
Miller,Morris.E,Australasian
Journal of Philosophy, 1471-6828, Volume 2, Issue 4, 1924, Pages 244 – 257.
Robin Attfield, 1999. The Ethics of
the Global Environment, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1999, in the
World Ethics Series edited by Nigel Dower, ISBN: 07486-0895-8; also West
Lafayette, IN: Purdue University Press, 1999, ISBN: 1-55753-189-7. pp. viii +
232.
Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999.
Penyebab dan Dampak Kebakaran. Dalam Mahalnya Harga Sebuah Bencana: Kerugian
Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap di Indonesia. Editor: D. Glover & T.
Jessup.
Smith , J. 2003. Illegal Logging,
Collusive Corruption, and Fragmented.
Soemarwoto, O. 2001. Atur Diri Sendiri
Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Soeriaatmadja, R.E (1997) Ilmu
Lingkungan. Penerbit ITB: Bandung Suhrawardi K. Lubis 1994. Etika Profesi
Hukum Sinar Grafika 41-C381.4.
Tacconi, T., 2003. Kebakaran Hutan di
Indonesia, Penyebab, biaya dan implikasi kebijakan. Center for International
Forestry Research (CIFOR), Bogor, Indonesia. 22 hal.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2001
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Vlek, P.L.G., R.F. Kühne, and M.
Denich. 1997. Nutrient resources for crop procution in the tropics. Phil.
Trans. R. Soc. Lond., B 352: 975-985.
Wardhana, Wisnu Arya. 2001. Dampak
Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi. Yogyakarta Wood, R.W. (1909). Note on the
Theory of the Greenhouse, Philosophical Magazine 17, p319.
Widjaja. 2002. ”Pedoman Pelaksanaan
Pendidikan Pancasila Pada Peguruan Tinggi”.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Wignjosoebroto,Soetandyo.DISKRIMINASI:
APA ITU, DAN APA YANG DAPAT DILAKUKAN UNTUK MENCEGAHNYA.Jakarta:Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).4 p.
http:
//groups.yahoo.com/group/ppindia
http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0031&ikey=1 http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global
http://www.cifor.cgiar.org/publications/Html/AR-98/Bahasa/Carbon.htmlhttp://www.wikimu.com/News/Display News.aspx?id=5219
http://jurnalnasional.com/?med=tambahan&sec=Nusantara&rbrk=&id= 41043&detail=Jurnal%20Republikhttp://nomersatu.com/revolusi-paradigma-atas-lingkungan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar