Senin, 28 April 2014

NILAI DAN ETIKA LINGKUNGAN DALAM TEORI DAN APLIKASI



NILAI DAN ETIKA LINGKUNGAN DALAM TEORI DAN APLIKASI
 OLEH : JONNIMAR
NPM : 13131011021
DOSEN PEMBIMBING : Prof. SUPLI EFFENDI RAHIM

A.   NILAI LINGKUNGAN
1.    PENGERTIAN
Lingkungan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta (Neolaka;2008;25) adalah berasal dari kata lingkung yaitu sekeliling, sekitar. Lingkungan adalah bulatan yang melingkupi atau melingkari, sekalian yang terlingkung disuatu daerah sekitarnya. Menurut ensiklopedia Umum (1977) lingkungan adalah alam sekitar termasuk orang-orangnya dalam hidup pergaulan yang mempengaruhi manusia sebagai anggota masyarakat dalam kehidupan dan kebudayaannya.
Dalam Ensiklopedia Indonesia(1983) lingkungan adalah segala sesuatu yang ada diluar suatu organisme meliputi :
a)    Lingkungan mati (abiotik) yaitu lingkungan diluar suatu organisme yang terdiri atas benda atau faktor alam yang tidak hidup, seperti bahan kimia, suhu, cahaya, gravitasi, atmosfir dan lainnya.
b)    Lingkungan hidup (biotik) yaitu lingkungan diluar suatu organisme yang terdiri atas organisme hidup seperti tumbuhan, hewan dan manusia.
Menurut Undang – Undang RI No. 4 tahun 1982, tentang ketentuan-ketentuan pokok Pengelolaan lingkungan hidup dan Undang-Undang RI No 23 tahun 1997 tentang Pengolahan Lingkungan Hidup, dikatakan bahwa Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya.
Pada penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa lingkungan hidup merupakan sistem yang meliputi lingkungan alam, lingkungan buatan dan lingkungan sosial yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya. Oleh sebab itu keberadaan lingkungan hidup harus turut dipertimbangkan dalam setiap pengelolaan suatu kegiatan manusia termasuk pengelolaan sampah pemukiman, karena lingkungan hidup manusia adalah sistem dimana berada perwujudan atau tempat dimana terdapat kepentingan manusia di dalamnya (Soerjadi;1988).
Masih menurut Soerjadi (1988) bahwa lingkungan hidup manusia terdiri dari lingkungan alam, sosial dan lingkungan buatan mempunyai hubungan saling mempengaruhi. Lingkungan hidup manusi terdiri atas lingkungan hidup sosial yang menentukan seberapa jauh lingkugan hidup alam mengalami perubahan drastis menjadi lingkungan hidup buatan. Dalam upaya meningkatkan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan upaya untuk mengadakan koreksi terhadap lingkungan dengan memodifikasi lingkungan, agar pengaruh merugikan dapat dijauhkan dan dilaksanakan pencegahan melalui efisiensi dan pengaturan lingkungan, sehingga bahaya lingkungan dapat dihindarkan dan keserasian serta keindahan dapat terpelihara.
Lebih tegasnya Soerjadi (1988), menyatakan ada tiga upaya yang harus dijalankan secara seimbang yaitu upaya teknologi, upaya tingkah laku atau sikap dan upaya untuk memahami dan menerima koreksi alami yang terjadi karena dampak interaksi manusia dan lingkungannya.
Chiras (Neolaka;1991) menyatakan bahwa lingkungan menunjukkan keluasan segala sesuatu meliputi air, binatang, dan mikro organisme yang mendiami tanah itu. Jadi lingkungan termasuk segala komponen yang hidup dan tidak hidup, interaksi antar sesama komponen. Lingkungan hidup adalah sistem yang merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup, termasuk didalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya. Dari pengertian lingkungan yang sama yaitu perlu disadari bahwa ternyata pengelolaan lingkungan oleh manusia sampai saat ini tidak sesuai dengan etika lingkungan yaitu manusia bersikap superior terhadap alam. Manusia beranggapan bahwa dirinya bukan bagian dari alam semesta sehingga dia boleh bebas mengelolanya bahkan dapat merusak lingkungan hidupnya.
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup (Pasal 1 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1997). Lebih lanjut dikatakan dalam Pasal 3 UU Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997, bahwa pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggerakan dengan asas tanggungjawab, asas keberlanjutan dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertagwa kepada Tuhan Yang maha Esa.
Dan yang menjadi sasaran pengelolaan lingkungan hidup ini adalah (Pasal 4 UUPLH No. 23 Tahun 1997) :
1)    Tercapainya keselarasan dan keseimbangan antara manuisa dengan lingkungan hidupnya.
2)    Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup.
3)    Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan.
4)    Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup.
5)    Terkendalinya pemanfaatan sumer daya secara bijaksana.
6)    Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan diluar wilayah Negara yang menyeabkan pencemaran dan/atau perusak lingkungan hidup. (dalam Neolaka,2008;113).
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah merancang tujuan dari pengelolaan lingkungan hidup yaitu : (tahun 2004-2009)
1)    Mewujudkan perbaikan kualitas fungsi lingkungan hidup dengan :
a)    Penurunan beban pencemaran lingkungan meliputi air, udara, atmosfir, laut dan tanah.
b)    Penurunan laju kerusakan lingkungan hidup yang meliputi sumber daya air, hutan dan lahan, keanekaragaman hayati, energi dan atmosfir, serta ekosistem pesisir laut.
c)    Terintegrasinya dan diterapkannya pertimbangan pelestarian fungsi lingkungan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pengawasan pemanfaatan ruang dan lingkungan.
2)    Meningkatnya kepatuhan para pelaku pembangunan untuk menjaga kualitas fungsi lingkungan hidup.
3)    Mewujudkan tata pemerintahan yang baik dibidang pengelolaan lingkungan hidup. Dengan terwujudnya pengarusutamaan prinsip tata pemerintahan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dipusat dan daerah ( Zoer`aini,2009;25).
Visi pengelolaan lingkungan agar terwujudnya perbaikan kualitas fungsi lingkungan hidup yang diselenggerakan dengan asas tanggungjawab Negara, asas berlanjutan, asas manfaat diselenggerakan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup melalui penerapan prinsip-prinsip good environmental governance, guna meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Ada beberapa misi yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan visi pengelolaan lingkungan hidup yaitu, :
1)    Mewujudkan kebijakan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup guna mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan.
2)    Membangun koordinasi dan kemitraan para pemangku kepantingan dalam pengelolaan dan pemanfaatan SDA dan lingkungan hidup secara efisien, adil dan berkelanjutan.
3)    Mewujudkan pencegahan kerusakan dan pengendalian pencemaran SDA dan lingkungan hidup dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup (Zoer`aini, 2009;26).
Agar tujuan pengelolaan lingkungan hidup tersebut dapat dicapai, maka perangkat hukum positif telah memberikan pengakuan adanya hak dan kewajiban yang dipunyai baik individu-individu, warga masyarakat atau kelompok social tertentu seperti ditetapkan dalam pasal 5 UUPLH No. 23/1997. Dengan demikian berarti bahwa pasal 5 ini dapat ditafsirkan bahwa setiap manuisa tanpa kecuali berhak untuk menikmati/memanfaatkan lingkungan hidup, manusia juga mempunyai kewajiban untuk memelihara, mencegah, dan menanggulangi, sesuatu akibat dan penggunaan hak atas lingkungan hidupnya.
Sujatmoko (1983) mengatakan bahwa Indonesia menghadapi 2 macam masalah mengenai lingkungan hidup, yaitu pertama kemelaratan dan kepadatan penduduk. Masalah yang kedua adalah pengrusakan dan pengotoran lingkungan hidup yang diakibatkan oleh proses pembangunan. Pembangunan erat kaitanya dengan lingkungan hidup, dimana pembangunan itu membutuhkan sumber daya alam dan sumber daya manusia.
Menurut Hardjasumantri (2002) bahwa pembangunan dapar berjalan, tanpa menganggu lingkungan hidup. Untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah, dibutuhkan swadaya masyarakat banyak untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna sistem pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Selain dengan proses pembangunan, manusia dapat bertindak sebagai subjek pembangunan yaitu sebagai pengelola, pencemar maupun perusak lingkungan, tetapi juga manusia dapat juga sebagai objek pembangunan yaitu menjadi korban pencemaran aiar, udara dan lain-lain. Pencemaran lingkungan hidup tidak hanya dalam bentuk pencemaran fisik, tetapi juga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan sosial.
Oleh karenanya setiap pengelolaan terhadap lingkungan hidup harus pula dilakukan secara sadar dan terencana. Hubungan keserasian antara arah pembangunan kelestarian lingkungan hidup perlu diusahakan dengan memperhatikan kebutuhan manusia, seperti lapangan kerja, pangan, sandang, dan pemukiman, kesehatan dan pendidikan (Emil Salim;1991).
Dari gambaran diatas dapat diketahui kunci permasalahan lingkungan adalah manusia. Jadi manusia dengan lingkungannya merupakan suatu yang tidak dapat dipisahkan. Karena kedua hubungan tersebut saling pengaruh dan mempengaruhi (Natsir;1986). Tingkah laku manusia selalu mempengaruhi keharmonisan dan keseimbangan lingkungan. Manusia yang mampu memelihara lingkungan dengan baik adalah manusia yang mampu mempergunakan alam sekitarnya guna memenuhi kebutuhan materinya secara wajar, sehingga kualitas lingkungan dapat dijaga dan ditingkatkan sekaligus memberikan manfaat kepada manusia.
Berdasarkan pengertian pengelolaan lingkungan hidup yang telah diutarakan diatas, maka pengelolaan sampah domestik pun harus dikaitkan dengan upaya memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan. Artinya pengelolaan sampah hendaknya merupakan upaya dalam pendayagunaan, pengawasan, dan pengendalian sampah, serta pemulihan lingkungan akibat pencemaran sampah.
Atas dasar adanya interaksi antara lingkungan sosial dan lingkungan buatan dan dengan kegiatan manusia yang menghasilkan sampah, maka bila sampah tidak dikelola secara tepat akan mengancam kualitas lingkungan kota. Dalam hal pengelolaan sampah pertimbangan lingkungan hendaknya selalu menjadi dasar perumusan kebijakan dan atau penanggulangannya. Atas dasar itu tidak berlebihan kiranya dinyatakan bahwa pengelolaan sampah haruslah berwawasan lingkungan.
2.    TEORI
1)    Antroposentrisme.
Merupakan teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat alam semesta. Etika ini sangat instrumentalistik dalam pengertian pola hubungan manusia dan alam dilihat dalam relasi instrumental. Alam dinilai sebagai alat bagi kepentingan manusia. Karena berciri instrumentalistik dan egoistic teori ini dianggap sebagai etika lingkungan yang dangkal dan sempit.
Ekologi dangkal dapat digolongkan dalam penganut antroposentrisme (Buntaran, 1966) dan menekankan hal-hal sebagai berikut :
a)    Gambaran manusia yang terpisah dari alam.
b)    Mangutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi tidak menekankan tanggung jawab manusia.
c)    Mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat keprihatinannya.
d)    Kebijakan dan manajemen sumber daya alam untuk kepentingan manusia.
e)    Pemecahan krisis ekologis melalui pengaturan jumlah penduduk khususnya di negara-negara miskin.
f)     Menerima secara positif pertumbuhan ekonomi.
g)    Norma utama adalah untung dan rugi.
h)    Mengutamakan rencana jangka pendek.
i)      Menyesuaikan diri dengan sistem politik dan ekonomi yang berlaku.
2)    Biosentrisme.
Teori ini menganggap setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga setiap kehidupan dan makhluk hidup di alam semesta. Semua makhluk hidup bernilai pada dirinya sendiri sehingga pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral, alam diperlukan secara moral.
3)    Ekosentrisme.
Teori ini hampir sama dengan teori biosentrisme tetapi diperluas untuk mencakup komunitas ekologis seluruhnya. Teori ini menggunakan konsep deep ecology. Prinsip moral yang dikembangkan yaitu menyangkut kepentingan seluruh komunitas ekologi.
Di dalam etika lingkungan terdapat prinsip-prinsip yang digunakan. Adapun prinsip-prinsip Etika Lingkungan bertumpu pada dua teori biosentrisme dan ekosentrisme dimana komunitas moral tidak hanya dibatasi pada komunitas social melainkan mencakup komunitas ekologi seluruhnya. Hakekat manusia bukan hanya makhluk sosial melainkan juga makhluk ekologis. Menurut Sony Keraf (2002:133), prinsip etika lingkungan adalah :
a)    Sikap hormat terhadap alam.
Dalam hal ini manusia diharapkan mengakui bahwa alam semesta perlu dihormati lepas apakah dia mengikuti konsep antroposentrisme, biosentrisme maupun ekosentrisme.
b)    Prinsip tanggung jawab.
Tanggung jawab disini tidak hanya tanggung jawab individual tetapi juga kolektif, dimana tanggung jawab moral menuntut manusia untuk mengambil prakarsa, usaha, kebijakan, dan tindakan bersama secara nyata untuk menjaga alam semesta dan segala isinya.
c)    Solidaritas kosmis.
Manusia mempunyai kedudukan sederajat dan setara dengan alam dan makhluk hidup di alam. Kesadaran ini membangkitkan dalam diri manusia perasaan solider dan sepenanggungan dengan alam dan sesama makhluk hidup lain.
d)    Kasih sayang dan kepedulian terhadap alam.
Sebagai sesama anggota komunitas ekologis yang setara manusia digugah untuk mencintai, menyayangi dan peduli pada alam dan isinya tanpa diskriminasi dan dominasi. Kasih sayang dan kepedulian ini juga muncul dari kenyataan bahwa sebagai sesama anggota komunitas ekologis semua makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara, dirawat dan tidak stabil.
e)    Tidak merugikan.
Manusia mempunyai kewajiban moral dan tanggung jawab terhadap alam. Paling tidak manusia tidak mau merugikan alam. Oleh karena itu manusia diupayakan tidak melakukan tindakan yang merugikan atau mengancam eksistensi makhluk hidup lain di alam semesta ini sebagaimana manusia tidak dibenarkan juga secara moral untuk bertindak merugikan sesama manusia.
f)     Hidup sederhana dan selaras dengan alam.
Prinsip ini menekankan nilai kualitas cara hidup yang baik dan bukan hanya kekayaan. Sarana standar material yang ditekankan dalam kehidupan bukan rakus dan tamak mengumpulkan sebanyakbanyaknya harta. Yang lebih penting adalah mutu kehidupan yang lebih baik.
g)    Keadilan.
Dalam hal ini akses yang sama bagi semua kelompok dan anggota masyarakat dalam ikut menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya alam, kelestarian alam dan ikut juga menikmati pemanfaatan sumber daya alam atau alam semesta seluruhnya.
h)    Demokrasi.
Terkait erat dengan hakekat alam. Isi alam selalu beraneka ragam. Keanekaragaman adalah hakekat alam, hakekat kehidupan itu sendiri. Oleh sebab itu setiap kecenderungan reduksionistis dan anti keanekaragaman serta anti pluralitas bertentangan dengan alam dan anti kehidupan. Demokrasi memberi tempat seluas bagi perbedaan keanekaragaman maupun yang lain. Oleh karena itu orang yang peduli dengan lingkungan adalah orang yang demokratis. Orang yang demokratis sangat mungkin seorang pemerhati lingkungan.
i)      Integritas moral.
Terutama dimaksudkan untuk pejabat publik. Pejabat dituntut untuk mempunyai sikap dan perilaku moral yang terhormat serta memegang teguh prinsip moral yang mengutamakan kepentingan publik. Dituntut bersih dan disegani karena mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan dan masyarakat.
Kesalahan dari peradaban kita selama ini terletak pada pandangan yang keliru seolah manusia bukan bagian dari alam atau lingkungan. Akibatnya, orang tidak sadar ketika dia melakukan kerusakan terhadap alam atau lingkungan, sesungguhnya dia juga sedang menghancurkan dirinya sendiri serta orang-orang lain. Memang sejak dicanangkan pertama kali pada 5 Juni 1972, Hari Lingkungan Hidup Sedunia punya tujuan menggugah kesadaran umat manusia akan tanggung jawabnya terhadap alam atau lingkungan hidup. Hari Lingkungan Hidup pertama dicetuskan bertepatan dengan Konferensi Internasional Lingkungan Hidup yang digelar pertama kali pada 5 - 16 Juni 1972 di Stockholm, Swedia. Berdasarkan resolusi PBB No. 2994 (XXVII) tertanggal 15 Desember 1972, ditetapkan tiap 5 Juni mulai 1972 sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Pada tahun yang sama dibentuk UNEP (United Nations Environment Program) yang bertanggung jawab terhadap peringatan World Environment Day (WED) setiap tahunnya di berbagai negara. Maksud dari adanya peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia adalah untuk meningkatkan kesadaran bagi siapa saja dalam menjaga lingkungan dan meningkatkan perhatian pemerintah diberbagai negara dalam mengatasi masalah lingkungan.
3.    APLIKASI
1)    Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan.
Pengertian tentang partisipasi oleh banyak ahli biasanya diartikan sebagai upaya peran serta masyarakat dalam suatu kegiatan, yang bila dikaitkan dengan pembangunan maka akan merupakan upaya peran serta masyarakat dalam pembangunan. Istilah lain partisipasi yang sering digunakan adalah peran serta, keterlibatan dan keikutsertaan yang terwujud di dalam sikap gotong-royong. Menurut Budiono (1999), gotong-royong adalah usaha yang dilakukan secara bersama tanpa imbalan yang ditujukan untuk kepentingan bersama. Dalam makna yang sama Widiayanti dan Sunindha (1989) mendefinisikannya sebagai suatu usaha yang diselenggerakan secara bersama yang dapat diwujudkan dalam pengertian partisipasi.
Achmadi (1978) menambahkan bahwa partisipasi, masyarakat dalam bentuk swadaya gotong-royong merupakan modal utama. Sedangkan swadaya diartikannya sebagai kemampuan dari suatu kelompok masyarakat yang dengan kesadaran dan inisiatif sendiri mengadakan iktihar pemenuhan kebutuhan. Menurut Cohen dan Uphoff (Ndraha;1990) bahwa patisipasi dapat merupakan keluaran dan masukan pembangunan. Bentuk partisipasi yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam program pembangunan terdiri dari partisipasi dalam pengambilan keputusan, implementasi, pemanfaatan, dan evaluasi pembangunan.
Berkaitan dengan pengertian partisipasi dan kaitannya dengan program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat maka partisipasi menjadi elemen yang sangat penting. Tanpa perhitungan partisipasi masyarakat, program pembangunan yang akan dilaksanakan merupakan perencanaan diatas kertas (Pusic dalam Adi;2001). Berdasarkan pandangannya, partisipasi atau keterlibatan warga masyarakat dalam pembangunan dapat dilihat dari dua hal yaitu; partisipasi dalam perencanaan dan partisipasi dalam pelaksanaan. Kedua hal tersebut mempunyai segi positif dan segi negatife, baik dalam bentuk partisipasi dalam perencanaan dan partisipasi dalam pelaksanaan.
Segi positif dari partisipasi dalam perencanaan adalah dapat mendorong munculnya keterlibatan secara emosional terhadap program-program pembangunan yang direncanakan bersama, sedangkan segi negatifnya adalah adanya kemungkinan tidak dapat dihindarinya pertentangan antar kelompok dalam masyarakat yang dapat menunda atau bahkan menghambat tercapainya suatu keputusan bersama.
Segi positif dari partisipasi dalam pelaksanaan adalah sebagian besar dari suatu program (tentang penilaian kebutuhan dan perencanaan program) telah selesai dikerjakan. Segi negatifnya adanya kecenderungan menjadikan warga masyarakat sebagai objek pembangunan, dimana warga masyarakat dijadikan pelaksana pembangunan tanpa didorong untuk mengerti dan menyadari permasalahan yang mereka hadapi, dan tanpa timbulnya keinginan untuk mengatasi masalahnya. Akibatnya, warga masyarakat tidak secara emosional terlibat dalam program yang berakibat kegagalan seringkali tidak dapat dihindari.
Menurut Tjokroamidjojo (1990) bahwa dalam partisipasi terdapat tiga tahapan, yaitu:
1)    Keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi kebijaksanaan dalam perencanaan.
2)    Keterlibatan dalam memikul beban dan tanggungjawab dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan.
3)    Keterlibatan dalam memetik hasil dan manfaat pembangunan.
Selanjutnya Suratmo (1995) menyatakan bahwa tujuan dasar dari partisipasi masyarakat Indonesia adalah (a) mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, (b) mengikutsertakan masyarakat dalam pembangunan Negara dan (c) membantu pemerintah untuk dapat mengambil kebijaksanaan dan keputusan yang lebih baik dan tepat.
Berdasarkan pengertian tentang partisipasi masyarakat yang telah dikemukakan diatas, maka dapat juga disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan/keterlibatan masyarakat secara aktif baik secara moril maupun materil, yang bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama yang didalamnya menyangkut kepentingan individu. Dengan begitu, terlihat jelas bahwa peran serta masyarakat menjadi demikian pentingnya didalam setiap bentuk kegiatan pembangunan, karena dengan dukungan masyarakat yang saling berinteraksi senantiasa memberikan harapan kearah berhasilnya suatu kegiatan.
2)    Pentingnya Partisipasi.
Pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan menurut Diana Conyers (1991) didasarkan tiga alasan utama, yaitu :
1)    Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kodisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal.
2)    Masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek tersebut dan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut.
3)    Adanya anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat sendiri.
Menurut Moeljarto (1994) partisipasi menjadi amat penting, terdapat beberapa pembenaran, yaitu:
1)    Rakyat adalah fokus sentral dan tujuan akhir pembangunan, partisipasi merupakan akibat logis dari dalil tersebut.
2)    Partisipasi menimbulkan harga diri dan kemampuan pribadi untuk dapat serta dalam keputusan penting yang menyangkut masyarakat.
3)    Partisipasi menciptakan suatu lingkungan umpan balik arus informasi tentang sikap, aspirasi, kebutuhan dan kondisi daerah yang tanpa keberadaanya akan tidak terungkap. Arus informasi ini tidak dapat dihindari untuk berhasilnya pembangunan.
4)    Pembangunan dilaksanakan lebih baik dengan dimulai dari mana rakyat berada dan dari apa yang mereka miliki.
5)    Partisipasi memperluas zona wawasan penerima proyek pembangunan.
6)    Partisipasi akan memperluas jangkauan pelayanan pemerintak kepada seluruh masyarakat.
7)    Partisipasi menopang pembangunan.
8)    Partisipasi menyediakan lingkungan yang kondusif baik bagi aktualisasi potensi manusia maupun pertumbuhan manusia.
9)    Partisipasi merupakan cara yang efektif untuk membangun kemampuan masyarakat untuk pengelolaan program pembangunan guna memenuhi kebutuhan daerah.
10) Partisipasi dipandang sebagai pencerminan hak-hak demokratis individu untuk dilibatkan dalam pembangunan mereka sendiri.
3)    Bentuk dan Jenis Partisipasi
Davis (Sastropoetro;1988) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan program-program pembangunan, partisipasi juga dapat dilihat dari bentuk dan jenisnya yakni :
1)    Bentuk partisipasi yang nyata yaitu:
a)    Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan.
b)    Partisipasi harta benda adalah partisipasi dalam bentuk menyumbang harta benda, biasanya berupa alat-alat kerja atau perkakas.
c)    Partisipasi tenaga adalah partisipasi yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk melaksanakan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan suatu program.
d)    Partisipasi keterampilan, yaitu memberikan dorongan melalui keterampilan yang dimilikinya kepada anggota masyarakat lainnya yang membutuhkannya.
2)    Jenis-jenis partisipasi :
a)    Pikiran ( psychological participation).
b)    Tenaga ( physical participation).
c)    Pikiran dan tenaga ( psy chological dan physical participation).
d)    Keahlian ( participation with skill).
e)    Barang ( material participation).
f)     Uang ( money participation).
Menurut Effendi partisipasi ada dua bentuk yaitu partisipasi vertical dan partisipasi horizontal:
a)    Partisipasi vertical adalah suatu bentuk kondisi tertentu dalam masyarakat yang terlibat didalamnya atau mengambil bagian dalam suatu program pihak lain, dalam hubungan mana masyarakat berada sebagai posisi bawahan.
b)    Partisipasi horizontal adalah dimana masyarakatnya tidak mustahil untuk mempunyai prakarsa dimana setiap anggota/kelompok masyarakat berpartisipasi secara horizontal antara satu dengan yang lainnya, baik dalam melakukan usaha bersama maupun dalam rangka melakukan kegiatan dengan pihak lain.
Berbagai defenisi diatas menggambarkan beberapa prinsip yang terkandung dalam partisipasi khususnya dalam konteks pembangunan, seperti adanya rasa kebersamaan, kesukarelaan dan kerjasama. Hal yang sama juga terlihat dalam pandangan Santoso dan iskandar (1974), berdasarkan pengalaman dilapangan dalam keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan, terdapat enam elemen dalam partisipasi yaitu :
a)    Rasa senasib dan sepenanggungan.
b)    Keterkaitan dengan tujuan hidup.
c)    Adanya prakarsawan.
d)    Iklim partisipasi.
e)    Adanya pembangunan itu sendiri.
Selanjutnya dalam hal pemanfaatannya, menurut Sutoro Eko dkk partisipasi juga dapat dipahami dalam 2 (dua) hal yaitu;
a)    Partisipasi sebagai sebuah ALAT.
Partisipasi dilihat sebagai sebuah proses yang didalam proses ini rakyat local (desa) dapat bekerjasama atau bergabung dengan program pembangunan yang diperkenalkan oleh siapa pun, secara eksternal. Partisipasi sebagai alat yang didalamnya prakarsa semacam ini dapat dilaksanakan secara lebih efektif. Partisipasi warga desa disponsori oleh perwakilan eksternal dan ia dilihat sebagai sebuah teknik untuk membantu kemajuan program desa.
b)    Partisipasi sebagai TUJUAN.
Partisipasi dilihat sebagai tujuan itu sendiri. Tujuan itu dapat dinyatakan sebagai pemberdayaan rakyat yang dipandang dari segi perolehan keahlian, pengetahuan dan pengalaman mereka untuk mengambil tanggungjawab yang lebih besar untuk pembangunan. Kemiskinan warga desa sering dipahami dari segi keterabaian dan kekurangan akses dan control sumber daya yang mereka perlukan untuk meneruskan dan memperbaiki hidup mereka.
4)    Indikator dan Karakteristik Partisipasi
Menurut loina Lalolo Krina P.(2003), partisipasi masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan itu sendiri, sehingga nantinya seluruh lapisan masyarakat akan memperoleh hak dan kekuatan yang sama untuk menuntut atau mendapatkan bagian yang adil dari manfaat pembangunan. Pembahasan lebih lengkap mengenai indikator dari partisipasi dapat dilihat berikut ini :
1)    Didasarkan pada asumsi bahwa organisasi pemerintahan akan bekerja lebih baik jika anggota-anggota dalam stuktur diberi kesempatan untuk terlibat secara intim dengan setiap keputusan organisasi. Hal ini menyangkut 2 aspek yaitu;
a)    Keterlibatan aparat melalui terciptanya nilai dan komitmen diantara para aparat agar termotivasi dengan kuat pada program yang diimplementasikan.
b)    Keterlibatan publik, dalam desain dan implementasi program.
2)    Partisipasi dibutuhkan dalam memperkuat demokrasi meningkatkan kualitas dan efektivitas layanan publik. Dalam mewujudkan kerangka yang cocok bagi partisipasi perlu dipertimbangkan beberapa aspek yaitu;
a)    Partisipasi melalui konstitusional dan jaringan civil society.
b)    Partisipasi individu dalam proses pengambilan keputusan, civil society sebagai service provider.
c)    Local kultur pemerintah.
d)    Faktor-faktor lainnya, seperti transparansi substansi proses terbuka dan konsentrasi pada kompetensi.
3)    Pemerintahan partisipatif bercirikan;
a)    Fokusnya adalah pada memberikan arah dan mengundang orang lain untuk berpartisipasi.
b)    Basis konstitusional dan demokratis.
c)    Gabungan antara pemerintah dan actor lain dalam masyarakat.
d)    Visi dan pengembangan berdasarkan konsensus sangat penting.
e)    Pemerintah hanya berperan sebagai chairperson
4)    Asumsi dasar dari partisipasi adalah semakin dalam keterlibatan individu dalam tantangan berproduksi, semakin produktif individu tersebut.
5)    Partisipasi adalah prinsip bahwa setiap orang memiliki hak terlibat dalam pengambilan keputusan di setiap kegiatan penyelenggeraan pemerintah. (buku pedoman penguatan Pengamanan program pembangunan Daerah, Bappenas & Depdagri, 2002).
Dari beberapa indikator diatas dapat disimpulkan bahwa prinsip partisipasi masyarakat menuntut masyarakat harus diberdayakan, diberikan kesempatan dan diikutsertakan untuk berperan dalam proses-proses birokrasi mulai dari tahap perencanaan pelaksanaan dan pengawasan atau kebijakan publik.
Hetifah Sj. Sumarto (2008) menyebutkan ada tiga karakteristik dari partisipasi yang dianggap ideal;
1)    Berpengaruh, proses yang berlangsung memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan dan pengambilan keputusan.
2)    Inklusif, forum yang ada harus merepresentasikan populasi dan terbuka terhadap perbedaan cara pandang maupun nilai-nilai, serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua pihak untuk berperan serta.
3)    Deliberatif, proses yang dijalankan harus memungkinkan adanya dialog yang terbuka, membuka akses terhadap informasi, saling menghargai, ruang untuk saling memahami dan membangun kerangka isu bersama dan menuju kepada kesepakatan bersama.
Karakteristik partisipasi menurut Saca Firmansya
1)    Partisipasi pasif/manipulative.
a)    Masyarakat berpartisipasi dengan cara diberitahukan apa yang sedang atau telah terjadi.
b)    Pengumuman sepihak oleh manajement atau pelaksana pproyek memperhatikan tanggapan masyarakat.
c)    Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan diluar kelompok sasaran professional
2)    Partisipasi dengan cara memberikan pertanyaan.
a)    Maasyarakat berpartisipasi dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian seperti dalam quesionae atau sejenisnya.
b)    Masyarakat tidak punya kesempatan untuk terlibat dan mempengaruhhi proses penyelesaian.
c)    Akurasi hasil penelitian tidak dibahas bersama masyarakat
3)    Partisipasi melalui konsultasi
a)    Masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi.
b)    Orang luar mendengarkan dan membangun pandangan-pandangannya sendiri untuk kemudian mendefenisikan permasalahan dan pemecahannya, dengan memodifikasi tanggapan-tanggapan masyarakat.
c)    Tidak ada peluang bagi pembuat keputusan bersama.
4)    Partisipasi untuk insentif material.
a)    Masyarakat berpartisipasi dengan cara menyediakan sumber daya seperti tenaga kerja, demi mendapatkan makanan, upah, ganti rugi dan sebagainya.
b)    Masyarakat tidak dilibatkan dalam eksperimen atau proses pembelajaran.
c)    Masyarakat tidak punya andil untuk melanjutkan keguatan-kegiatan yang dilakukan pada saat intensif yang disediakan/ diterima telah habis.
5)    Partisipasi fungsional.
a)    Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok untuk mencapai tujuan yang berhubungan dengan proyek.
b)    Pembentukan kelompok setelah ada keputusan utama yang disepakati.
c)    Pada awalnya kelompok masyarakat ini bergantung pada pihak luar tetapi pada saatnya mampu sendiri.
6)    Partisipasi interaktif.
a)    Masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama yang mengarah pada perencanaan kegiatan dan pembentukan lembaga sosial baru.
b)    Partisipasi ini cenderung melibatkan metode inter-disiplin yang mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematis.
c)    Kelompok masyarakat mempunyai peran control atas keputusan mereka sehingga mereka mempunyai andil di dalam seluruh penyelenggeraan kegiatan.
B.   ETIKA LINGKUNGAN
1.    PENGERTIAN
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).
Menurut Ahmad Amin, “etika adalah ilmu pengetahuan yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dicapai oleh manusia dalam perbuatan mereka, dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat oleh manusia."
Menurut Soegarda Poerbakawatja, “etika adalah filsafat nilai, pengetahuan tentang nilai-nilai, ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya, terutama mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya bentuk perbuatan”.
Menurut Martin [1993], etika didefinisikan sebagai "the discipline which can act as the performance index or reference for our control system". Dengan demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standard yang akan mengatur pergaulan manusia didalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada; dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan "self control", karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri.
Etika berkaitan dengan nilai-nilai hidup yang dianut oleh manusia, beserta pembenarannya serta hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia (Gering Supriadi, 1998:24).
Prinsip-prinsip etika:
a)    Etika kemanfaatan umum (utilitarianism ethics).
Setiap langkah/tindakan yang menghasilkan kemanfaatan terbesar bagi kepentingan umum haruslah dipilih dan dijadikan motivasi utama.
b)    Etika kewajiban (duty ethics).
Ø  Setiap sistem harus mengakomodasikan hal-hal yang wajib untuk diindahkan tanpa harus mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin bisa timbul, berupa nilai moral umum yang harus ditaati seperti jangan berbohong, jangan mencuri, harus jujur, dan sebagainya.
Ø  Semua nilai moral ini jelas akan selalu benar dan wajib untuk dilaksanakan, sekalipun akhirnya tidak akan menghasilkan keuntungan bagi diri sendiri.
c)    Etika kebenaran (right ethics).
Suatu pandangan yang tetap menganggap salah terhadap segala macam tindakan yang melanggar nilai-nilai dasar moralitas. Sebagai contoh tindakan plagiat ataupun pembajakan hak cipta/karya orang lain, apapun alasannya akan tetap dianggap salah karena melanggar nilai dan etika akademis.
d)    Etika keunggulan/kebaikan (virtue ethics)
Suatu cara pandang untuk membedakan tindakan yang baik dan salah dengan melihat dari karakteristik (perilaku) dasar orang yang melakukannya. Suatu tindakan yang baik/benar umumnya akan keluar dari orang yang memiliki karakter yang baik pula. Penekanan di sini diletakkan pada moral perilaku individu, bukannya pada kebenaran tindakan yang dilakukannya.
e)    Etika sadar lingkungan (environmental ethics).
Ø  Suatu etika yang berkembang di pertengahan abad 20 ini yang mengajak masyarakat untuk berpikir dan bertindak dengan konsep masyarakat modern yang sensitif dengan kondisi lingkungannya.
Ø  Pengertian etika lingkungan di sini tidak lagi dibatasi ruang lingkup penerapannya merujuk pada nilai-nilai moral untuk kemanusiaan saja, tetapi diperluas dengan melibatkan "natural resources" lain yang juga perlu dilindungi, dijaga dan dirawat seperti flora, fauna maupun obyek tidak bernyawa (in-animate) sekalipun.
Etika disebut juga filsafat moral merupakan cabang filsafat yang berbicara tentang tindakan manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma, diantaranya norma hukum, norma moral, norma agama dan norma sopan santun. Norma hukum berasal dari hukum dan perundang-undangan, norma agama berasal dari agama, norma moral berasal dari suara hati dan norma sopan santun berasal dari kehidupan sehari-hari. Aliran etika dalam kehidupan manusia meliputi:
a)    Aliran Deontologis.
Sesuatu yang sudah dinyatakan dilarang maka apapun alasannya hal itu tetap tidak boleh dilakukan.
b)    Aliran Teleologis.
Sesuatu yang mestinya dilarang tetapi suatu saat boleh dilakukan asal dengan tujuan demi kebaikan.
Secara teoritis, etika mempunyai pengertian sebagai berikut :
1)    Pertama, secara etimologis, etika berasal dari kata Yunani ethos (jamaknya : ta etha), yang berarti “adat-istiadat” atau “kebiasaan”. Dalam ari ini, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang atau masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain.
2)    Kedua, etika dipahami dalam pengertian yang berbeda dengan moralitas sehingga mempunyai pengertian yang jauh lebih luas. Dalam pengertian ini, etika dimengerti sebagai refleksi kritis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak dalam situasi konkret, situasi khusus tertentu. Etika adalah filsafat moral, atau ilmu yang membahas dan mengkaji secara kritis persoalan benar dan salah secara moral, tentang bagaimana harus bertindak dalam situasi konkret.
Etika merupakan bagian filsafat, sebagai ilmu etika mencari kebenaran dan sebagai filsafat etika mencari keterangan yang sedalamdalamnya. Etika berkaitan dengan nilai-nilai hidup yang dianut oleh manusia beserta pembenarannya serta hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia (Gering supriadi, 1998:24).
Ada beberapa prinsip untuk menegakkan etika lingkungan ini, antara lain:
1)    Pertama, sikap hormat terhadap alam merupakan suatu prinsip dasar bagi manusia sebagai bagian dari alam semesta secara keseluruhan. Setiap anggota komunitas social mempunyai kewajiban untuk menghargai kehidupan bersama (kohesivitas sosial), demikian pula setiap anggota komunitas ekologis harus menghargai dan menghormati setiap kehidupan dan spesies dalam komunitas ekologis.
2)    Kedua, prinsip tanggung jawab yang dimiliki manusia terhadap alam semesta maupun terhadap keberadaan dan kelestarian setiap bagian dan benda di alam semesta ini. Tanggung jawab itu tidak hanya individual melainkan kolektif berupa prakarsa, usaha, kebijakan dan tindakan bersama secara nyata untuk menjaga alam semesta dengan segala isinya.
3)    Ketiga, prinsip demokrasi. Keanekaragaman dan pluralitas adalah hakikat alam, hakikat kehidupan itu sendiri. Setiap kecenderungan reduksionistis, antikeanekaragaman dan antipluralitas berarti bertentangan dengan alam dan anti kehidupan.
4)    Keempat, prinsip keadilan yang berbicara tentang akses yang sama bagi semua kelompok dan anggota masyarakat dalam ikut menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian alam dan dalam ikut menikmati pemanfaatan sumber daya alam. Pemanfaatan yang diskriminatif dan kapitalis seperti saat ini berarti penghinaan buat pasal 33 UUD 1945.
Pada akhirnya, etika lingkungan hidup harus dipahami sebagai refleksi kritis terhadap norma, prinsip, dan nilai moral yang selama ini dikenal dalam komunitas manusia. Termasuk, apa yang harus diputuskan manusia dalam membuat pilihan moral dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang berdampak pada lingkungan hidup. Pendekatan penyelesaiannya pun tidak dapat parsial tetapi harus komprehensif, seperti perubahan yang mendasar terhadap sistem pendidikan nasional yang saat ini jauh dari akar kebutuhan objektif masyarakat.
Mentalitas Frontier (Frontier Mentality) adalah mentalitas dasar atau etika yang ditandai oleh tiga konsep ajaran dasar, (Chiras, 1985, hal. 435) yaitu :
1)    Bahwa dunia sebagai penyedia sumber daya yang tak terbatas untuk digunakan oleh manusia, dan tidak perlu berbagi dengan segala bentuk kehidupan lain yang memerlukannya. Dengan kata lain “segala sesuatunya senantiasa tetap tersedia terus dan itu semua untuk kita manusia”. Sebagian dari konsep ini, juga terdapat anggapan bahwa bumi ini memiliki kapasitas yang tidak terbatas untuk menerima dan mengolah pencemaran.
2)    Bahwa manusia itu terpisah dari alam dan bukan merupakan bagian dari alam itu sendiri.
3)    Bahwa alam dilihat sebagai sesuatu yang harus ditundukkan. Teknologi adalah alat ampuh bagi manusia untuk menundukkan alam, dan juga merupakan jawaban bagi banyak permasalahan konflik antara masyarakat manusia dengan alam.
Secara lebih rinci mentalitas Frontier ini menegaskan pemahamannya bahwa :
1)    Bumi adalah bank sumber daya yang tak terbatas.
2)    Bila persediaan sumber daya habis, kita pindah ke tempat lain.
3)    Hidup akan semakin baik bila kita terus dapat menambahkan kesejahteraan material kita.
4)    Harga yang harus dibayar untuk setiap usaha adalah penggunaan materi, energi dan tenaga kerja. Ekonomi pada dasarnya adalah ketiga hal tersebut.
5)    Alam adalah untuk ditundukkan.
6)    Hukum dan teknologi baru akan memecahkan masalah lingkungan yang kita hadapi.
7)    Kita lebih tinggi dari pada alam, kita terpisah dari alam dan superior terhadap alam.
8)    Limbah adalah sesuatu yang harus diterima dari setiap usaha manusia.
Menurut Menurut Masykuri etika yang harus digunakan masyarakat modern saat ini adalah Etika Keberlanjutan (sustainable ethics) yang dikemukakan oleh Chiras (1985: 435) yang memiliki anggapan dasar bahwa :
1)    Bumi merupakan sumber persediaan yang memiliki batas.
2)    Mendaur-ulang dan menggunakan sumber daya yang dapat diganti akan mencegah terjadinya kehabisan persediaan sumber daya.
3)    Nilai hidup tidak di ukur dari besarnya uang kita di bank.
4)    Harga setiap usaha, bukan hanya penggunaan energi, tenaga kerja dan materi tetapi harga eksternal, seperti : kerusakan lingkungan dan kemerosotan derajat kesehatan manusia harus juga diperhitungkan.
5)    Kita harus memahami dan bekerja sama dengan alam.
6)    Usaha-usaha individu dalam mengatasi masalah yang sangat menekan harus dibarengi dengan hukum yang kuat serta teknologi yang tepat.
7)    Kita adalah bagian dari alam, kita dikuasai oleh hukum alam, oleh karena itu harus menghormati komponen hukum-hukum tersebut. Kita tidak lebih hebat dari alam.
8)    Limbah adalah tidak dapat ditoleran, sehingga setiap limbah harus punya nilai guna.
2.    TEORI ETIKA
Karena etika berkaitan dengan refleksi kritis, untuk menjawab pertanyaan, bagaimana kita harus bertindak dalam situasi konkret tertentu, ada tiga jawaban berbeda. Jawaban pertama dikenal sebagai teori deontologi, jawaban kedua dikenal sebagai teori teleologi, dan jawaban ketiga dikenal sebagai etika keutamaan. Ketiga teori ini juga berguna untuk menjawab pertanyaan, bagaimana menilai suatu tindakan yang baik secara moral.
a)    Etika Deontologi.
Istilah ”deontologi” berasal dari kata Yunani deon, yang berarti kewajiban, dan logos berarti ilmu atau teori. Terhadap pertanyaan bagaimana bertindak dalam situasi konkret tertentu, deontology menjawab: lakukan apa yang menjadi kewajibanmu sebagaimana terungkap dalam norma dan nilai-nilai moral yang ada. Sejalan dengan itu, menurut etika deontologi, suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Dengan kata lain, suatu tindakan dianggap baik karena tindakan itu memang baik pada dirinya sendiri, sehingga merupakan kewajiban yang harus kita lakukan. Sebaliknya, suatu tindakan dinilai buruk secara moral karena tindakan itu memang buruk secara moral sehingga tidak menjadi kewajiban untuk kita lakukan.
Dengan demikian, etika deontologi sama sekali tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut: baik atau buruk. Akibat dari suatu tindakan tidak pernah diperhitungkan untuk menentukan kualitas moral suatu tindakan. Hal ini akan membuka peluang bagi subyektivitas dan rasionalisasi yang menyebabkan kita ingkar akan kewajiban-kewajiban moral. Immanuel Kant (1734-1804) menolak akibat suatu tindakan sebagai dasar untuk menilai tindakan tersebut karena akibat tadi tidak menjamin universalitas dan konsistensi kita dalam bertindak dan menilai suatu tindakan.
Dalam perspektif itu, membuang limbah ke sungai, misalnya, akan dinilai buruk secara moral bukan karena tidak sesuai dengan kewajiban moral untuk hormat kepada alam (respect for nature).
Atas dasar itu, etika deontologi snagat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang kuat untuk bertindak sesuai dengan kewajiban. Bahkan menurut Kant, kemauan baik harus dinilai baik pada dirinya sendiri terlepas dari apapun juga. Maka, dalam menilai tindakan kita, kemauan baik harus dinilai paling pertama dan menjadi kondisi dari segalanya.
Menurut Kant, kemauan baik adalah syarat mutlak untuk bertindak secara moral. Kemauan baik menjadi kondisi yang mau tidak mau harus dipenuhi agar manusia dapat bertindak secara baik, sekaligus membenarkan tindakannya itu. Maksudnya, bisa saja akibat dari suatu tindakan memang baik, tetapi kalau tindakan itu tidak dilakukan berdasarkan kemauan baik untuk menaati hukum moral yang merupakan kewajiban seseorang, tindakan itu tidak bias dinilai baik. Akibat baik tadi bisa saja hanya merupakan sebuah kebetulan.
Atas dasar itu, menurut Kant, tindakan yang baik adalah tindakan yang tidak saja sesuai dengan kewajiban tetapi karena dijalankan berdasarkan dan demi kewajiban. Ia menolak segala tindakan yang baik, walaupun tindakan itu mendatangkan konsekuensi yang baik. Demikian pula, semua tindakan yang dilaksanakan sesuai dengan kewajiban, tetapi tidak didasarkan pada kemauan baik untuk menghormati perintah universal, melainkan, misalnya, karena terpaksa, akan dianggap sebagai tindakan yang tidak baik. Dalam kaitan dengan ini, hal yang juga prinsip dan penting bagi Kant, yaitu melakukan suatu tindakan moral haruslah dengan kemauan keras atau otonomi bebas.
Secara singkat, ada tiga hal yang harus dipenuhi: (1) supaya suatu tindakan mempunyai nilai moral, tindakan itu harus dilaksanakan berdasarkan kewajiban. (2) nilai moral suatu tindakan bukan bergantung dari tercapainya tujuan tindakan itu melainkan pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan tersebut-kalaupun tujuannya tidak tercapai, tindakan itu sudah dinilai baik. (3) konsekuensi dari kedua hal tersebut, kewajiban untuk mematuhi hukum moral universal adalah hal yang niscaya bagi suatu tindakan moral.
Bagi Kant, hukum moral telah tertanam dalam hati setiap orang dan karena itu bersifat universal. Hukum moral itu dianggap sebagai perintah tak bersyarat (imperatif kategoris), yang berarti hukum moral itu berlaku bagi semua orang pada segala situasi dan tempat. Ia mengikat siapa saja dari dalam dirinya sendiri karea hukum moral itu telah tertanam dalam hati setiap orang.
b)    Etika Teleologi
Istilah ”teleologi” berasal dari kata Yunani telos, yang berarti tujuan, dan logos berarti ilmu atau teori. Berbeda dengan etika deontologi, etika teleologi menjawab pertanyaan bagaimana bertindak dalam situasi konkret tertentu dengan melihat tujuan atau akibat dari suatu tindakan. Dengan kata lain, etika teleologi menilai baik-buruk suatu tindakan berdasarkan tujuan atau akibat dari suatu tindakan tersebut. Suatu tindakan dinilai baik kalau bertujuan baik dan mendatangkan akibat baik.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa etika teleologi lebih bersifat situasional dan subyektif. Kita bisa bertindak berbeda dalam situasi lain tergantung dari penilaian kita tentang akibat yang jelasjelas bertentangan dengan norma dan nilai moral bisa dibenarkan oleh etika teleologi hanya karena tindakan itu membawa akibat yang baik.
Persoalannya, tujuan yang baik itu untuk siapa, untuk pribadi, untuk pihak pengambil keputusan dan yang melaksanakan keputusan atau bagi banyak orang? Apakah tindakan tertentu dinilai baik hanya karena berakibat baik untuk saya, atau baik karena berakibat baik bagi banya orang? Berdasarkan jawaban atas pertanyaan ini, etika teleologi bisa digolongkan menjadi dua yaitu egoisme etis dan utilitarianisme.
Egoisme etis menilai suatu tindakan sebagai baik karena berakibat baik bagi dirinya sendiri. Kendati bersifat egoistis, tindakan ini diniali baik secara moral karena setiap orang dibenarkan untuk mengejar kebahagiaan dirinya. Oleh karena itu, setiap tindakan yang mendatangkan kebahagiaan diri sendiri akan dinilai baik secara moral. Sebaliknya, buruk kalau kita membiarkan diri kita menderita dan dirugikan.
Utilitarianisme menilai baik buruknya suatu tindakan berdasarkan akibatnya bagi banyak orang. Etika utilitarianisme ini pertama kali dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832).
Secara singkat, prinsip yang dianut etika utilitarianisme adalah bertindaklah sedemikian rupa agar tindakanmu itu mendatangkan manfaat sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin orang (the greatest good for the greatest number). Tidak usah bersusah payah mencari norma dan nilai moral yang menjadi kewajiban kita. Yang perlu kita lakukan hanya menimbang-nimbang akibat dari suatu tindakan untuk melihat apakah dari suatu tindakan untuk melihat apakah bermanfaat atau merugikan.
Etika utilitarianisme mempunyai tiga keunggulan yaitu (1) kriterianya rasional, (2) etika utilitarianisme menghargai kebebasan setiap individu dalam menentukan sikap moral, dalam mengambil keputusan dan tindakan, (3) utilitarianisem lebih mengutamakan kepentingan banyak orang darpada kepentingan sendiri atau segelintir orang.
Ketiga unggulan ini menyebabkan etika utilitarianisme banyak dipakai-secara sadar ataupun tidak-dalam berbagai kebijakan dan tindakan publik. Idealnya, suatu kebijakan publik membawa manfaat atau menguntungkan bagi semua orang dan pihak terkait. Dalam banyak kasus, ini tidak mungkin karena semua orang mempunyai kepentingan yang berbeda. Secara moral, suatu kebijakan akan dinilai benar secara moral, kalau memenuhi tiga kriteria tersebut. Ketika kita tidak bisa memuaskan semua orang, kebijakan tersebut dinilai baik secara moral, paling tidak sebagian terbesar orang atau pihak terkait diuntungkan dengan kebijakan tersebut.
Hanya saja, etika utilitarianisme pun tidak luput dari kelemahan. Walaupun sepanjang sejarahnya merupakan sebuah teori etika yang sangat populer dan banyak digunakan, utilitarianisme tidak lupa dari berbagai kritik yaitu (1) utilitarianisme membenarkan ketidakadilan. Maksudnya, dengan membenarkan suatu kebijakan atau tindakan hanya karena membawa manfaat bagi sebagian besar orang, utilitarianisme telah membenarkan kebijakan atau tindakan tersebut merugikan kepentingan sebagian kecil orang yang tidak mendapatkan manfaatdari kebijakan atau tindakan tadi. Kendati ada segelintir orang yang haknya dirugikan, kebijakan tersebut dianggap benar hanya karena membawa manfaat bagi lebih banyak orang. Jelas ini tidak adil. (2) manfaat merupakan sebuah konsep yang begitu luas, sehingga dalam kenyataan praktis menimbulkan kesulitan. (3) sering kali beberapa variabel sulit dikuantifikasi sehingga tidak mudah untuk menentukan manakah manfaat terbesar dibandingkan dengan yang lainnya. (4) manfaat yang dimaksudkan oleh etika utilitarianisme sering dilihat dalam jangka pendek. Padahal, dalam menilai akibat suatu tindakan kita harus melihatnya dalam jangka panjang. (5) V tidak menganggap serius nilai suatu tindakan, atau lebih tepat lagi sebuah norma atau kewajiban melainkan hanya memperhatikan akibatnya. (6) seandainya ketiga kriteria tersebut saling bertentangan, ada kesulitan dalam menentukan prioritas di antara ketiganya.
Para filsuf penganut etika utilitarianisme menyadari kelemahan-kelemahan etika ini. Oleh karena itu, salah satu jalan keluar yang disodorkan dengan membedakan dua tingkatan etika utilitarianisme yaitu (1) utilitarianisme aturan dan (2) utilitarianisme tindakan.
c)    Etika Keutamaan
Berbeda dengan kedua teori etika di atas, etika keutamaan (virtue ethics) tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan. Juga, tidak mendasarkan penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal. Etika keutamaan lebih mengutamakan pengembangan karakter moral pada diri setiap orang.
Dalam kaitan dengan itu, sebagaimana dikatakan Aristoteles, nilai moral ditemukan dan muncul dari pengalaman hidup dalam masyarakat, dari teladan dan contoh hidup yang diperlihatkan oleh tokoh-tokoh besar dalam suatu masyarakat dalam menghadapi dan menyikapi persoalan-persoalan hidup ini. Di sana kita menemukan nilai moral tertentu, dan belajar mengembangkan dan menghayati nilai tersebut. Jadi, nilai moral bukan muncul dalam bentuk adanya aturan berupa larangan dan perintah, melainkan dalam bentuk teladan moral yang nyata dipraktekkan oleh tokoh-tokoh tertentu dalam masyarakat. Dari teladan hidup orang-orang itu kita mengenal dan belajar nilai dan keutamaan moral seperti kesetiaan, saling percaya, kejujuran, ketulusasn, kesediaan berkorban bagi orang lain, kasih sayang, kemurahan hati, dan sebagainya.
Dengan demikian, etika keutamaan sangat menekankan pentingnya sejarah dan cerita-termasuk cerita dongeng dan wayang. Dari sejarah-khususnya sejarah kehebatan moral para tokoh besardan dari cerita dongeng ataupun sastra kita belajar tentang nilai dan keutamaan, serta berusaha menghayati dan mempraktekannya seperti tokoh dalam sejarah, dalam cerita atau dalam kehidupan masyarakat. Tokoh dengan teladannya menjadi model untuk kita tiru.
Jadi, dalam menjawab pertanyaan bagaimana kita harus bertindak secara moral dalam situasi konkret yang dilematis, etika keutamaan menjawab: teladanilah sikap dan perilaku moral tokoh - tokoh yang kita kenal, baik dalam masyarakat, sejarah atau dalam cerita yang kita ketahui, ketika mereka menghadapi masalah serupa. Lakukan seperti yang dilakukan para tokoh moral itu. Itulah tindakan benar secara moral.
Menurut teori etika keutamaan, orang bermoral tidak pertamatama ditentukan oleh kenyataan bahwa dia melakukan suatu tindakan bermoral. Pribadi moral terutama ditentukan oleh kenyataan seluruh hidupnya, yaitu bagaimana dia hidup baik sebagai manusia sepanjang hidupnya. Jadi, bukan tindakan satu per satu yang menentukan kualitas moralnya. Akan tetapi, apakah dalam semua situasi yang dihadapi ia mempunyai posisi, kecenderungan, sikap dan perilaku moral yang terpuji serta sikap dan perilakunya tidak pernah berubah. Maka, yang dicari adalah keutamaan, excellence, kepribadian moral yang menonjol. Ia dikenal sebagai orang yang teruji secara moral dan karena itu terpuji/terhormat. Dia tahan terhadap setiap godaan untuk menyimpang dari sikap dasarnya. Dia adalah orang yang berprinsip, yang mempunyai integritas moral yang tinggi sebagaimana dipelajari tokoh-tokoh besar dalam hidupnya atau dari sejarah dan cerita-cerita yang diketahuinya.
Pribadi yang bermoral adala orang yang berhasil mengembangkan suatu disposisi, sikap, dan kecenderungan moral melalui kebiasaan yang baik sehingga perilaku dan perbuatannya selalu bermoral. Ia bukan orang yang sekadar melakukan sesuatu yang adil (doing something that is just), melainkan orang yang adil sepanjang hidupnya (being a just person). Ia bukan sekadar orang yang melakukan tindakan yang baik, meliankan orang yang baik.
Keunggulan teori ini bahwa moralitas dalam suatu masyarakat dibangun, pertama, melalui cerita. Melalui cerita dan sejarah disampaikan pesan-pesan, niali-nilai, dan keutamaan-keutamaan moral agar ditiru dan dihayati oleh anggota masyarakat. Orang juga belajar moralitas melalui keteladanan nyata dari tokoh, pemimpin atau orang yang dihormati dalam masyarakat tersebut. Ada contoh nyata yang bisa ditiru dan dari sana menjalar perilaku moral tersebut kepada banyak orang. Keutamaan moral tidak diajarkan melalui indoktrinasi, perintah dan larangan, tetapi teladan dan contoh nyata, khususnya dalam menetukan sikap di dalam situasi yang dilematis.
Etika keutamaan sangat menghargai kebebasan dan rasionalitas manusia, karena pesan moral hanya disampaikan melalui cerita dan teladan hidup para tokoh lalu membiarkan setiap orang untuk menangkap sendiri pesan moral itu. Juga, setiap orang dibiarkan menggunakan akal budinya untuk menafsirkan pesan moral itu. Artinya, terbuka kemungkinan setiap orang mengambil pesan moral yang khas bagi dirinya, dan melalui kehidupan itu kehidupan moral menjadi sangat kaya oleh berbagai penafsiran.
Sesungguhnya agama, dengan Kitab-kitab suci dan tokohtokohnya berupa para nabi, melakukan hal yang sama. Melalui cerita dalam Kitab Suci, baik tentang perumpamaan tertentu, kasus tertentu atau tentang perbuatan nabi tertentu, umat diajarkan tentang nilai dan keutamaan moral tertentu dan diharapkan untuk meneladani dan menghayati nilai dan keutamaan moral itu dalam hidunya. Demikian pula, sepanjang sejarah agama tersebut, muncul orang kudus, martir, dan orang saleh yang melalui teladannya mengajarkan keutamaan, nilai moral, dan hal baik yang harus dilakukan. Sayangnya, etika keutamaan pada setiap agama ini luntur atau bahkan hilang ditelan kecenderungan dogmatisme dan indoktrinasi yang begitu kuat pada agama-agama itu.
Akan tetapi, kelemahan etika keutamaan ini bahwa dalam masyarakat pluralistik, akan muncul berbagai keutamaan moral yang berbeda-beda sesuai dengan sumber budaya dan agama, atau cerita dan sejarah yang diajarkan. Kedua, dalam masyarakat modern dimana cerita-apalagi cerita dongeng-tidak diberi tempat, moralitas bisa kehilangan relevansinya. Ketiga, dalam masyarakat dimana sulit ditemukan adanya tokoh publik yang bisa menjadi teladan moral, moralitas akan mudah hilang dari masyarakt tersebut. Ini terutama terjadi dalam masyarakat materialistis seperti sekarang ini. Contoh dan teladan yang kita temukan sehari-hari adalah contoh dan teladan bagaimana menjadi kaya, termasuk melaui cara yang tidak halal, seperti korupsi, bisnis yang curang, dan sebagainya.
Hal yang menarik dari etika keutamaan ini adalah kita perlu membangun watak, karakter dan kepribadian moral. Dalam kaitan dengan itu, peran pemimpin dan tokoh publik sangat penting untuk memberi teladan yang baik dalam hal kehidupan moral.
Lingkungan adalah keadaan sekitar yang mempengaruhi perkembangan dan tingkah laku makhluk hidup. Segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung juga merupakan pengertian lingkungan.
Menurut Undang Undang RI No. 4 tahun 1982, tentang Kententuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dikatakan bahwa: Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Otto Soemarno, seorang pakar lingkungan mendefinisikan lingkungan hidup sebagai berikut: lingkungan adalah jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita. Pengertian lingkungan hidup menurut S. J. McNaughton dan Larry L. Wolf adalah semua faktor eksternal yang bersifat biologis dan fisika yang langsung mempengaruhi kehidupan, pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi manusia.
Menurut Emil Salim (1985) dalam bukunya: Lingkungan Hidup dan Pembangunan, menyatakan bahwa lingkungan hidup adalah segala benda, daya, kondisi, keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruang yang kita tempati dan mempunyai hal-hal yang hidup termasuk kehidupan manusia. Lingkungan hidup menurut Mohamad Soerjani dan Surna T. Djajadiningrat (1985) dikaji oleh ilmu lingkungan yang landasan pokoknya adalah ekologi, serta dengan mempertimbangkan disiplin lain, terutama ekonomi dan geografi.
Dari berbagai pengertian lingkungan yang sama itu perlu disadari bahwa pengelolaan oleh manusia sampai saat ini tidak sesuai dengan etika lingkungan. Etika lingkungan sangat dibutuhkan untuk menyeimbangkan alam semesta, sementara itu manusia beranggapan bahwa manusia bukan bagian dari alam semesta sehingga manusia secara bebas mengelolanya bahkan sampai merusak lingkungan hidup.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Etika adalah sebuah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma dalam menentukan perilaku manusia. Etika lingkungan merupakan kebijakan moral manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya. Etika lingkungan sangat diperlukan agar setiap kegiatan yang menyangkut lingkungan dipertimbangkan secara cermat sehingga keseimbangan lingkungan tetap terjaga.
Di dalam etika lingkungan terdapat prinsip-prinsip yang digunakan. Adapun prinsip-prisip etika lingkungan menurut Sony Keraf antara lain:
a)    Sikap hormat terhadap alam.
b)    Prinsip tanggung jawab.
c)    Solidaritas kosmis.
d)    Kasih sayang dan kepedulian terhadap alam.
e)    Tidak merugikan.
f)     Hidup sederhana dan serasi dengan alam.
g)    Keadilan.
h)    Demokrasi.
i)      Integritas moral.
Salah satu prinsip dari etika lingkungan adalah kasih sayang dan kepedulian terhadap alam atau lingkungan, kata peduli adalah menaruh perhatian, mengindahkan, memperhatikan, dan menghiraukan. Sedangkan kepedulian adalah pilihan sangat peduli atau sikap mengindahkan. Maka dapat disimpulkan bahwa kepedulian lingkungan adalah peka dan peduli terhadap hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan sekitar dan senantiasa memperbaiki bila terjadi pencemaran atau ketidakseimbangan.
Kepedulian terhadap lingkungan hidup dapat ditinjau dengan dua tujuan utama: pertama, dalam hal tersedianya sumber daya alam, sampai sejauhmana sumber-sumber tersebut secara ekonomik menguntungkan untuk digali dan kemudian dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan guna membiayai kegiatan pembagunan. Kedua, jika kekayaan yang dimiliki memang terbatas dan secara ekonomik tidak menguntungkan untuk digali dan diolah, maka untuk selanjutnya strategi apa yang perlu ditempuh untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan pembagunan bangsa yang bersangkutan.
Peduli terhadap lingkungan berarti ikut melestarikan lingkungan hidup dengan sebaik-baiknya, bisa dengan cara memelihara, mengelola, memulihkan serta menjaga lingkungan hidup. Pedoman yang harus diperhatikan dalam kepedulian atau pelestarian lingkungan antara lain:
a)    Menghindarkan dan menyelamatkan sumber bumi dari pencemaran dan kerusakan.
b)    Menghindari tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan pencemaran, merusak kesehatan dan lingkungan.
c)    Memanfaatkan sumberdaya alam yang renewable (yang tidak dapat diganti) dengan sebaik-baiknya.
d)    Memelihara dan memperbaiki lingkungan untuk generasi mendatang.
Pengelolaan lingkungan dapat kita artikan sebagai usaha sadar untuk memelihara atau memperbaiki mutu lingkungan agar kebutuhan dasar kita dapat terpenuhi dengan sebaik-baiknya. Sadar lingkungan adalah kesadaran untuk mengarahkan sikap dan pengertian masyarakat terhadap pentingnya lingkungan yang bersih, sehat dan sebagainya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran lingkungan:
a)    Faktor ketidaktahuan.
Tidak-tahu berlawanan dengan kata tahu. Poedjawijatna menyatakan bahwa sadar dan tahu itu sama (sadar = tahu). Jadi apabila berbicara tentang ketidaktahuan maka hal itu juga membicarakan ketidaksadaran. Seseorang yang tahu akan arti pentingnya lingkungan sehat bagi makhluk hidup, maka orang tersebut akan senantiasa menjaga dan memelihara lingkungan.
b)    Faktor kemiskinan.
Kemiskinan membuat orang tidak peduli dengan lingkungan. kemiskinan adalah keadaan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum. Dalam keadaan miskin, sulit sekali berbicara tentang kesadaran lingkungan, yang dipikirkan hanya cara mengatasi kesulitannya, sehingga pemikiran tentang pengelolaan lingkungan menjadi terabaikan.
c)    Faktor kemanusiaan.
Kemanusiaan diartikan sebagai sifat-sifat manusia. Menurut Chiras (1991) dikatakan manusia adalah bagian dari alam atau pengatur alam. Pengatur atau penguasa disini diartikan manusia memiliki sifat serakah, yaitu sifat yang menganggap semuanya untuk dirinya dan keturuannya. Adanya sifat dasar manusia yang ingin berkuasa maka manusia tersebut mengenyampingkan sifat peduli terhadap sesama.
d)    Faktor gaya hidup.
Dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dan teknologi informasi serta komunikasi yang sangat pesat, tentunya berpengaruh pula terhadap gaya hidup manusia. Gaya hidup yang mempengaruhi perilaku manusia untuk merusak lingkungan adalah gaya hidup hedonism (berfoya-foya), materialistik (mengutamakan materi), sekularisme (mengutamakan dunia), konsumerisme (hidup konsumtif), serta individualisme (mementingkan diri sendiri).
Pandangan yang beranggapan alam bernilai hanya sejauh ia bermanfaat bagi kepentingan manusia akan menimbulkan kepedulian lingkungan yang dangkal serta perhatian kepada kepentingan ligkungan sering diabaikan. Lingkungan hidup pada mulanya berada dalam keseimbangan dan keserasian, karena komponen-komponen ekosistem berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya. Namun sangat disanyangkan, keadaan alam sekarang dibandingkan 10–20 tahun yang lalu sangat terasa adanya perbedaan yang mencolok, hal ini tidak lain karena terjadinya eksploitasi besar-besaran oleh manusia baik secara sadar maupun tak sadar. Lingkungan hidup baik biotik maupun abiotik berpengaruh dan dipengaruhi oleh manusia.
3.    APLIKASI
Prinsip-prinsip etika lingkungan mencakup komunitas ekologi seluruhnya. Hakekatnya manusia bukan hanya makhluk sosial melainkan juga makhluk ekologis. Penerapan prinsip Etika Lingkungan harus dimulai sejak dari dini agar setiap individu sadar akan pentingnya menjaga lingkungan demi kesejahteraan mereka sendiri. Adapun prinsip – prinsip Etika Lingkungan menurut Sony Keraf (2002:144) adalah :
a)    Sikap hormat terhadap alam.
Dalam hal ini manusia diharapkan mengakui bahwa alam semesta perlu dihormati lepas apakah dia mengikuti konsep antroposentrisme, biosentrisme maupun eksosentrisme.
b)    Prinsip tanggung jawab.
Tanggung jawab disini tidak hanya tanggung jawab individual tetapi juga kolektif, dimana tanggung jawab moral menuntut manusia untuk mengambil prakarsa, usaha, kebijakan dan tindakan bersama secara nyata untuk menjaga alam semesta dan segala isinya.
c)    Solidaritas kosmis.
Manusia mempunyai kedudukan sederajat dan setara dengan alam dan makhluk hidup di alam. Kesadaran ini membangkitkan dalam diri manusia perasaan solider dan sepenanggungan dengan alam dan sesama makhluk hidup lain.
d)    Kasih sayang dan kepedulian terhadap alam.
Sebagai sesama anggota komunitas ekologis yang setara manusia digugah untuk mencintai, menyayangi dan peduli pada alam dan isinya tanpa diskriminasi dan dominasi. Kasih sayang dan kepedulian ini juga muncul dari kenyataan bahwa sebagai sesama anggota komunitas ekologis semua makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara, dirawat dan tidak disakiti.
e)    Tidak merugikan.
Manusia mempunyai kewajiban moral dan tanggung jawab terhadap alam. Paling tidak manusia tidak mau merugikan alam. Oleh karena itu manusia diupayakan tidak melakukan tindakan yang merugikan atau mengancam eksistensi makhluk hidup lain di alam semesta ini sebagaimana manusia tidak dibenarkan juga secara moral untuk bertindak yang merugikan sesama manusia.
f)     Hidup sederhana dan selaras dengan alam.
Prinsip ini menekankan nilai kualitas cara hidup yang baik dan bukan hanya kekayaan. Sarana standar material yang ditekankan dalam kehidupan bukan rakus dan tamak mengumpulkan sebanyak-banyaknya harta. Yang lebih penting adalah mutu kehidupan yang lebih baik.
g)    Keadilan.
Dalam hal ini akses yang sama bagi semua kelompok dan anggota masyarakat dalam ikut menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan ikut juga menikmati pemanfaaatan sumber daya alam atau alam semesta seluruhnya.
h)    Demokrasi.
Terkait erat dengan hakekat alam. Isi alam selalu beraneka ragam. Keanekaragaman adalah hakekat alam, hakekat kehidupan itu sendiri. Oleh sebab itu setiap kecenderungan reduksionistis dan anti keanekaragaman serta anti pluralitas bertentangan dengan alam dan anti kehidupan. Demokrasi memberi tempat seluas bagi perbedaan keanekaragaman maupun yang lain. Oleh karena itu orang yang peduli dengan lingkungan adalah orang yang demokratis. Orang yang demokratis sangat mungkin seorang pemerhati lingkungan.
i)      Integritas moral.
Integritas moral terutama dimaksudkan untuk pejabat publik. Pejabat dituntut untuk mempunyai sikap dan perilaku moral yang terhormat serta memegang teguh prinsip moral yang mengutamakan kepentingan publik. Dituntut bersih dan disegani karena mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan dan masyarakat.
Didalam kehidupan sehari-hari banyak kita lihat perilaku manusia yang melanggar etika maupun yang masih memegang ajaran etika dalam melakukan aktifitas kehidupannya. Dibawah ini contoh penerapan konkrit etika di dalam lingkungannya :
Berjalan dengan sikap wajar dan tawadlu, tidak berlagak sombong di saat berjalan atau mengangkat kepala karena sombong atau mengalihkan wajah dari orang lain karena takabbur.
a)    Allah SWT berfirman yang artinya: QS. Luqman: 18 :
"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri". Memelihara pandangan mata, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
b)    Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: QS. An-Nur: 30-31 :
"Katakanlah kepada orang laki-laki beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Yang Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya...." Tidak mengganggu, yaitu tidak membuang kotoran, sisa makanan di jalan-jalan manusia, dan tidak buang air besar atau kecil di situ atau di tempat yang dijadikan tempat mereka bernaung.
c)    Muttafaq'alaih :
Menyingkirkan gangguan dari jalan. Ini merupakan sedekah yang karenanya seseorang bisa masuk surga. Dari Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Ketika ada seseorang sedang berjalan di suatu jalan, ia menemukan dahan berduri di jalan tersebut, lalu orang itu menyingkirkannya. Maka Allah bersyukur kepadanya dan mengampuni dosanya..." Di dalam suatu riwayat disebutkan: maka Allah memasukkannya ke surga". Menjawab salam orang yang dikenal ataupun yang tidak dikenal. Ini hukumnya wajib, karena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:"Ada lima perkara wajib bagi seorang muslim terhadap saudaranya- diantaranya: menjawab salam". Menunjukkan orang yang tersesat (salah jalan), memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan dan menegur orang yang berbuat keliru serta membela orang yang teraniaya. Di dalam hadits disebutkan: "Setiap persendian manusia mempunyai kewajiban sedekah...dan disebutkan diantaranya: berbuat adil di antara manusia adalah sedekah, menolong dan membawanya di atas kendaraannya adalah sedekah atau mengangkatkan barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah sedekah dan menunjukkan jalan adalah sedekah...."
d)    HR. Abu Daud, dan dinilai shahih oleh Al-Albani
Perempuan hendaknya berjalan di pinggir jalan. Pada suatu ketika Nabi pernah melihat campur baurnya laki-laki dengan wanita di jalanan, maka ia bersabda kepada wanita: "Meminggirlah kalian, kalain tidak layak memenuhi jalan, hendaklah kalian menelusuri pinggir jalan. Tidak ngebut bila mengendarai mobil khususnya di jalanjalan yang ramai dengan pejalan kaki, melapangkan jalan untuk orang lain dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk lewat. Semua itu tergolong di dalam tolongmenolong di dalam kebajikan. (Sumber: Kitab "Etika Kehidupan Muslim Sehari-hari" By : Al-Qismu Al-Ilmi-Dar Al-Wathan).
Contoh konkret etika, misalnya, dalam etika lingkungan, ”tidak membuang sampah sembarangan” merupakan suatu bentuk etika terhadap lingkungan. Atau dengan kata lain, seseorang dikatakan tidak mempunyai etika terhadap lingkungan apabila ia dengan sengaja mencemari, misalnya sungai, dengan membuang sampah (limbah rumah tangga) ke badan sungai.
Contoh lain, misal etika sosial, ”orang merokok di sembarang tempat (tempat fasilitas umum yang dilarang)”, dia dapat dikatakan tidak mempunyai etika karena orang lain merasa terganggu, tetapi kasus ini merupakan penilaian secara subyektif sebab mungkin ada juga orang yang tidak terganggu.
Contoh-contoh lain etika, misalkan penerapan etika dengan dasar etika agama adalah sebagai berikut:
a)    Etika Berbeda Pendapat.
1)    Ikhlas dan mencari yang haq serta melepaskan diri dari nafsu di saat berbeda pendapat. Juga menghindari sikap show (ingin tampil) dan membela diri dan nafsu.
2)    Mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Kitab Al-Qur'an dan Sunnah. Karena Allah Subhaanahu wa Ta'ala telah berfirman yang artinya:
3)    "Dan jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Kitab) dan Rasul". (An-Nisa: 59).
4)    Berbaik sangka kepada orang yang berbeda pendapat denganmu dan tidak menuduh buruk niatnya, mencela dan menganggapnya cacat.
5)    Sebisa mungkin berusaha untuk tidak memperuncing perselisihan, yaitu dengan cara menafsirkan pendapat yang keluar dari lawan atau yang dinisbatkan kepadanya dengan tafsiran yang baik.
6)    Berusaha sebisa mungkin untuk tidak mudah menyalahkan orang lain, kecuali sesudah penelitian yang dalam dan difikirkan secara matang.
7)    Berlapang dada di dalam menerima kritikan yang ditujukan kepada anda atau catatan-catatang yang dialamatkan kepada anda.
8)    Sedapat mungkin menghindari permasalahan-permasalahan khilafiyah dan fitnah.
9)    Berpegang teguh dengan etika berdialog dan menghindari perdebatan, bantah-membantah dan kasar menghadapi lawan. (Sumber: Kitab "Etika Kehidupan Muslim Sehari-hari" By : Al-Qismu Al-Ilmi-Dar Al-Wathan).
b)    Etika di Jalanan.
1)    Berjalan dengan sikap wajar dan tawadlu, tidak berlagak sombong di saat berjalan atau mengangkat kepala karena sombong atau mengalihkan wajah dari orang lain karena takabbur. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri". (Luqman: 18).
2)    Memelihara pandangan mata, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman yang artinya: "Katakanlah kepada orang laki-laki beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Yang Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya...." (An-Nur: 30-31).
3)    Tidak mengganggu, yaitu tidak membuang kotoran, sisa makanan di jalan-jalan manusia, dan tidak buang air besar atau kecil di situ atau di tempat yang dijadikan tempat mereka bernaung.
4)    Menyingkirkan gangguan dari jalan. Ini merupakan sedekah yang karenanya seseorang bisa masuk surga. Dari Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu diriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Ketika ada seseorang sedang berjalan di suatu jalan, ia menemukan dahan berduri di jalan tersebut, lalu orang itu menyingkirkannya. Maka Allah bersyukur kepadanya dan mengampuni dosanya..." Di dalam suatu riwayat disebutkan: maka Allah memasukkannya ke surga". (Muttafaq'alaih).
5)    Menjawab salam orang yang dikenal ataupun yang tidak dikenal. Ini hukumnya wajib, karena Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:"Ada lima perkara wajib bagi seorang muslim terhadap saudaranya- diantaranya: menjawab salam". (Muttafaq alaih).
6)    Beramar ma`ruf dan nahi munkar. Ini juga wajib dilakukan oleh setiap muslim, masing-masing sesuai kemampuannya.
7)    Menunjukkan orang yang tersesat (salah jalan), memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan dan menegur orang yang berbuat keliru serta membela orang yang teraniaya. Di dalam hadits disebutkan: "Setiap persendian manusia mempunyai kewajiban sedekah...dan disebutkan diantaranya: berbuat adil di antara manusia adalah sedekah, menolong dan membawanya di atas kendaraannya adalah sedekah atau mengangkatkan barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah sedekah dan menunjukkan jalan adalah sedekah...." (Muttafaq alaih).
8)    Perempuan hendaknya berjalan di pinggir jalan. Pada suatu ketika Nabi pernah melihat campur baurnya laki-laki dengan wanita di jalanan, maka ia bersabda kepada wanita: "Meminggirlah kalian, kalain tidak layak memenuhi jalan, hendaklah kalian menelusuri pinggir jalan. (HR. Abu Daud, dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
9)    Tidak ngebut bila mengendarai mobil khususnya di jalanjalan yang ramai dengan pejalan kaki, melapangkan jalan untuk orang lain dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk lewat. Semua itu tergolong di dalam tolongmenolong di dalam kebajikan. (Sumber: Kitab "Etika Kehidupan Muslim Sehari-hari" By : Al-Qismu Al-Ilmi-Dar Al-Wathan).
C.   DAFTAR PUSTAKA
Anonimous.,2000 Ringkasan Konferensi Nasional Pengelolaan Sumber Daya Alam dan UNDP Country Programme for Indonesia, Desember 2005: 1-6, 37-40.
Anu Lounella.,2006., Dinamika Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat Belajar Dari Kasus Wonosobo, makalah tidak dipublikasikan, Konggres Pluralisme Hukum ke 25, Universitas Indonesia, Depok.
British Petroleum Statistical Review of World Energy. 1991.
Chiras, D.D. 1985. Environmental Science, A Framework for Decision Making. The Benyamin Cumming Publ. Inc. California.
Danny, Q. (2001). ICT clusters in development: theory and evidence. European Investment Bank papers, 6 (1). pp. 86-100. ISSN 0257- 7755.
Fuad Amsyari,1986. Masalah Pencemaran Lingkungan, Ghalia Indonesia Jakarta, 1986.
Fleagle, RG and Businger, JA: An introduction to atmospheric physics, 2nd edition, 1980.
Gering Supriyadi, Drs. MM., Etika Birokrasi, LAN – RI, 1998.
George Session:1995 Deep Ecology for the Twenty-First Century, Paperback Giacomelli, Gene A. and William J. Roberts1, Greenhouse Covering Systems, Rutgers University Government of Indonesia dalam UNDP, 2007.
Hardiwardoyo,1990. Perkawinan menurut Islam dan Katolik: implikasinya dalam kawin campur. Yogyakarta : Kanisius.
Henderson-Sellers, A and McGuffie, K: A climate modelling primer (quote: Greenhouse effect: the effect of the atmosphere in rereadiating longwave radiation back to the surface of the Earth. It has nothing to do with glasshouses, which trap warm air at the surface).
Idso, S.B.: Carbon Dioxide: friend or foe, 1982 (quote: ...the phraseology is somewhat in appropriate, since CO2 does not warm the planet in a manner analogous to the way in which a greenhouse keeps its interior warm).
Immanuel Kant, 1734–1804 The man, his work and thought.
IPCC. 1990. Polymakes Summary of the Scientific Assesement of Climate Change. Laporan Kelompok Kerja II. Kenya, Nairobi.
Jhamtani, H. 1993. Pemanasan Global. Yayasan Obor Indonesia, Kophalindo, Panos. Jakarta.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP, 1998. Ringkasan Eksklusif Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia, Jakarta.
Keraf, A. Sony. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta Kiehl, J.T., and Trenberth, K. (1997). Earth's annual mean global energy budget, Bulletin of the American Meteorological Society 78 (2), 197–208.
Lee, T.D. 1978. Handbook of variables of environmental impact assesment. Arbor: an arbor science publisher inc.
Ludwig, A.J. and Reynolds, F.J. 1988. Statistical ecology. New York. Wiley Interscience.Piexoto, JP and Oort, AH: Physics of Climate, American Institute of Physics, 1992 (quote: ...the name water vapor-greenhouse effect is actually a misnomer since heating in the usual greenhouse is due to the reduction of convection).
Magnis-Suseno, Franz. 2001. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Martin, 1993. "Is poverty increasing in the developing world?," Policy Research Working Paper Series 1146, The World Bank.Mariati, 1998, Bahan Kimia Berbahaya, Penataran Pengelolaan Laboratorium Fakultas kedokteran USU, Medan.
Mariati, 1997, Bahan Kimia Beracun dan berbahaya. Penataran Tenaga Laboran Dalam lingkungan Fakultas Pertanian USU oleh USU training Center, Medan.
Miller,Morris.E,Australasian Journal of Philosophy, 1471-6828, Volume 2, Issue 4, 1924, Pages 244 – 257.
Robin Attfield, 1999. The Ethics of the Global Environment, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1999, in the World Ethics Series edited by Nigel Dower, ISBN: 07486-0895-8; also West Lafayette, IN: Purdue University Press, 1999, ISBN: 1-55753-189-7. pp. viii + 232.
Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999. Penyebab dan Dampak Kebakaran. Dalam Mahalnya Harga Sebuah Bencana: Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap di Indonesia. Editor: D. Glover & T. Jessup.
Smith , J. 2003. Illegal Logging, Collusive Corruption, and Fragmented.
Soemarwoto, O. 2001. Atur Diri Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Soeriaatmadja, R.E (1997) Ilmu Lingkungan. Penerbit ITB: Bandung Suhrawardi K. Lubis 1994. Etika Profesi Hukum Sinar Grafika 41-C381.4.
Tacconi, T., 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia, Penyebab, biaya dan implikasi kebijakan. Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor, Indonesia. 22 hal.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2001 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Vlek, P.L.G., R.F. Kühne, and M. Denich. 1997. Nutrient resources for crop procution in the tropics. Phil. Trans. R. Soc. Lond., B 352: 975-985.
Wardhana, Wisnu Arya. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi. Yogyakarta Wood, R.W. (1909). Note on the Theory of the Greenhouse, Philosophical Magazine 17, p319.
Widjaja. 2002. ”Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Pancasila Pada Peguruan Tinggi”.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Wignjosoebroto,Soetandyo.DISKRIMINASI: APA ITU, DAN APA YANG DAPAT DILAKUKAN UNTUK MENCEGAHNYA.Jakarta:Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).4 p.
http: //groups.yahoo.com/group/ppindia
http://jurnalnasional.com/?med=tambahan&sec=Nusantara&rbrk=&id= 41043&detail=Jurnal%20Republikhttp://nomersatu.com/revolusi-paradigma-atas-lingkungan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar